KEDUDUKAN HADIST DAN FUNGSI HADIST TERHADAP AL-QURAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama yang sempurna yang mengatur disegala aspek kehidupan seorang anak manusia. Selain Al-Qur’an, umat Islam juga memiliki tuntunan lain sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan di dunia ini, yaitu As-Sunnah (ucapan, perbuatan dan sikap) yang telah diteladani oleh Rasulullah SAW. Berangkat dari penjelasan di atas, maka sangatlah penting bagi umat Islam untuk memahami dan mempelajari hadits (As-Sunnah) agar dapat menentukan mana hadits yang dapat menjadi landasan hukum dalam berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia.
B.Rumusan Masalah
- Bagaimana
kedudukan Hadist terhadap Al-quran?
- Apa fungsi
Hadist terhadap Al-quran ?
C. Tujuan
- Mengetahui kedudukan Hadist terhadap Al-quran.
- Mengetahui fungsi Hadist terhadap Al-quran.
BAB II
PEMBAHASAN
A. kedudukan Hadist terhadap Al-quran
1. Sumber ajaran islam kedua setelah al-quran
Ada beberapa ayat Al-quran yang perlu di perhatikan untuk melihat
kedudukan Sunnah Rasul di sisi Al-Quran.
Dalam surah al-Anfal: 20 :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلا تَوَلَّوْا عَنْهُ
وَأَنْتُمْ تَسْمَعُونَ
Hai orang-orang yang beriman, ta 'atlah kepada Allah dan
Rasul-Nya, dan janganlah kamu
berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar
(perintah-perintah-Nya
Dalam surah al-Hasyr: 7 :
وَمَا آتَاكُمُ
الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa
yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”
Menurut Syyid Rasyid Ridha, Nabi menjelaskan kandungan
Al-quran dengan perkataan dan perbuatan. Penjelasan itu berupa tafshil,
takhshish, taqyid, tetapi tidak pernah membatalkan informasi dan hukum-hukum
yang terkandung dalam A-quran. Maka al-sunnah tidak menasakh Al-quran.[1]
kedudukan Hadistterhadap Al-quran harus diakui bahwa untuk
memahami dan mengamalkan kandungan Al-quran diperlukan informasi historic
tentang kronologi turunnya dan informasi tentang penjelasan/sunnah rasul yang
bekaitan dengan ayat di maksud. Karena rasul yang membawa Al-uqran, maka ialah
yang paling berhak mengulas dan memberi penjelasan.[2]
[2]Imam al-Syafi’i, al-risalah, edisi
Ahmad Muhammad Syakir, hlm. 576.
Kedudukan Hadist dari segi statusnya
sebagai dalil dan sumber ajaran islam, menurut jumhur ulama adalah menempati
posisi kedua setelah al-Quran. Hal tersebut terutama di tinjau dari segi wurud atau stubutnya Al-Quran adalah bersifat qath’i; oleh karenanya yang
bersifat qath’i (pasti) didahulukan
dari pada yang zhanni (relatif).
Untuk lebih jelasnya, berikut akan di
uraikan argumen yang di kemukakan para ulama tentang posisi hadist terhadap
al-quran tersebut:[3]
a.
al-Quran dengan sifatnya yang qath’i al-wurud (keberadaannya yang
pasti di yakini), baik secara perayat maupun secara keseluruhan, sudah seharusnyalah
kedudukannya lebih tinggi dari pada hadist yang statusnya secara hadist per
hadist, kecuali yang berstatus Mutawatir,
adalah yang bersifat Zhanni Al-Wurud.
b.
Sikap para sahabat yang merujuk kepada
al-quran terlebih dahulu apabila mereka bermaksud mencari jalan keluar atas
suatu masalah, dan jika di dalam al-quran tidak di temui penjelasaannya,
barulah mereka merujuk kepada al-sunnah yang mereka ketahui, atau menanyakan
hadis kepada sahabat yang lain.[4]
c.
Hadis Mu’ad secara tegas menyatakan urutan kedudukan antara al-quran dan
al-sunnah (hadist) sebagai berikut:
“Bahwasanya tatkala rasulullah saw hendak mengutus mu’adz ibn jabal ke
yaman, beliau bertanya kepada mua’dz, “bagaimana engkau memutuskan perkara jika
di ajukan kepadamu?” maka muadz menjawab, “aku akan memutuskan berdasarkan
kitab Allah (al-Quran).” Rasul bertanya lagi, “apabila engkau tidak menmukannya
jawaban di kitab Allah?” mua’dz berkata, “aku akan memutuskannya dengan
sunnah”. Rasul selanjutnya bertanya, “bagaimana kalau engkau juga tidak
menemukannya didalam sunnah dan tidak dalam kitab Allah?” mu’adz menjawab, “aku
akan berijtihad dengan menggunakan akalku.” Rasul saw menepuk dada mua’dz
seraya berkata “alhamdulillah atas taufik yang telah di anugrahkan allah kepada
utusan rasul-Nya.”
Argumen diatas menjelaskan bahwa ke dudukan hadist nabi saw berada pada
peringkat kedua setelah Al-quran. Meskipun demikian, hal tersebut tidaklah mengurangi
nilai hadist, karena keduanya Al-quran dan hadist pada hakikatnya sama-sama
berasal dari wahyu Allah. Karenanya keduanya seiring dan sejalan.
[3]
Al-syathibi. Al-muwafaqat, juz 4, h.
6; wahbah Al-zuhaili, ushul al-fiqh,
juz 1, hlm. 460-461.
[4]Iblid. Muhammad khudhari beik, ushul fiqih. (kairo: maktabah
al-tijariyyat al-kubra,1996), hlm. 241-242;mushtafa al-siba’i, al-sunnah wa makanatuha, hlm.70-71
1.
Sebagai musyar’i
(pembuat syari’at)
Sunnah tidak di
ragukan lagi merupakan pembuat syari’at dari yang tidak ada dalam al-quran,
misalnya diwajibkannya zakat fitrah, di sunahkan aqiqah, dan lain-lain. Dalam
hal ini, para ulama berbeda pendapat :
a.
Sunnah itu memuat hal-hal baru yang belum
ada dalam al-quran
b.
Sunnah tidak memuat hal-hal baru yang tidak
dalam al-quran, tetapi hanya memuat hal-hal yang ada landasannya dalam al-quran
2.
Sunah sebagai
ta’kid (penguat) al-Quran
Hukum islam di
dasarkan pada dua sumber, yaitu al-quran dan sunnah. Tidak heran kalau banyak
sekali sunnah yang menerangkan tentang kewajiban shalat,zakat,puasa,larangan
musyrik,dan lainlain.[5]
Sesungguhnya kedudukan hadist sebagai wahyu yang sakral bagi kaum
muslimin, bukan karena peranan imam Syafii’, tetapi alquran sendiri telah
menegaskan hal ini dalam beberapa ayat cotoh al-hasyr : 7 dan al-taghaabun :
12. Kedua ayat ini dan ayat-ayat yang lainnya secara tegas memerintahkan untuk
melaksanakan apa saja yang telah di perintahkan oleh rasulullah, baik berupa
ucapan, tindakan maupun persetujuan beliau. Sebab dalam hal ini, pengertian
hadis adalah mencakup semua yang di sandarkan kepada rasulullah. Maka kedudukan
hadis yang sakral telah di tegaskan dalam al-quran.[6]
Kita tahu kedudukan sunnah dalam
syariat islam. Sesudah Al-quran, sunnah menduduki tempat kedua dalam segala hal
yang menyangkut syariat islam. Dan untuk mengenal sunnah, orng hanya dapat
dengan jelas mengetahuinya melalui hadist. Karena itu hadist merupakan tempat
kembali yang tidak di ragukan lagi.[7]
[5] Racmat
Syafi’i, Ushul fiqih. Hlm. 65
[6]Henri Shalahuddin, M.A. Al-Quran
Dihujat. Hlm. 79
[7]Dr. Anwar Harjono, sh. Indonesia
Kita PemiiranBerwawasanIman-Islam Hlm. 48
B. Fungsi Hadist terhadap Al-quran
1. Memberi bayan
(penjelasan/rincian) kandungan Al-quran yang mujmal.
Dalam surah an-Nahl: 44 di sebutkan,
بِالْبَيِّنَاتِ
وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ
إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
dengan membawa keterangan-keterangan (mu
'jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami
turunkan kepadamu Al Qur 'an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,
Al-quran
memerintahkan umat islam Shalat tetapi tidak pernah menjelaskan waktu-waktunya
dan bilangan raka’atnya. Penjelasan tersebut di temukan dalam catatan-catatan
sunnah rasul yang memuat perintah seperti ini :
وَصَلُّوْا كَمَا رَاَيْتُمُوْ نِي
اُصَلِّى
“shalatlah kamu
seperti aku shalat !”
Demikian juga
Al-Quran menyuruh mengerjakan ibadah Haji tetapi tidak menyebutkan rincian tata
caranya.cara melaksanakannya mengikuti petunjuk Rasul “ambillah contoh dari
saya manasik Haji!”
3. Sebagai penegasan atau yang sering di sebut
bayan taqrir Apa yang terkandung dalam al-sunnah menguatkan
kandungan Al-Quran. Seperti sunnah-sunnah yang isinya mewaibkan shalat, haji,
puasa, zakat, menguatkan kandugan Al-Quran dalam maksud yang sama.Yang termuat
dalam hadist beliau:
بني الا سلا م على خمس شهادة ان لا ا له ا الا الله و ان محمدا
رسول ا لله واقا م الصلا ة وايتاء ازكاة وصوم رمضان وحج البيت من استطا ع اليه سبيلا
“Di bangun islam
atas lima (pondasi), yaitu: kesaksian bahwa tiada tuhan selain allah dan bahwa
muhammad itu rasulullah, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa bulan
ramadhan, dan menunaikan haji bagi yang mampu.”[8]
[8]Hadis ini
di riwayatkan oleh Bukhari, Shahih Bukhari. Juz 1, hlm. 8: Muslim, Shahih
Muslim, juz 1 hlm.32: Tirmidzi, Suanan Al-Tirmidzi juz 4, hlm. 275:
dan Nasa’i, Sunnan Al-Nasa’i, juz 8,hlm. 111-112.
Hadist ini
berfungsi untuk menegaskan kembali (men-taqrir) ayat-ayat berikut :
وَأَقِيمُواالصَّلاةَوَآتُواالزَّكَاة
“Dan tegakkanlah
olehmu shalat dan bayarkanlah zakat.” (al-baqarah: 83)
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواكُتِبَعَلَيْكُمُالصِّيَامُ
“Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa.” (al-baqarah:183)
وَلِلَّهِعَلَىالنَّاسِحِجُّالْبَيْتِمَنِاسْتَطَاعَإِلَيْهِسَبِيلا
“mengerjakan haji
adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (ali imran: 97)
4. SebagaiTaqyid (pembatasan) terhadap kemutlakan
al-Quran. Umpamanya, hadis nabi saw yang memberikan penjelasan tentang batasan
untuk melakukan pemotongan tangan pencuri, yang dalam al-quran di sebutkan
secara muthlaq, yaitu :
وَالسَّارِقُوَالسَّارِقَةُفَاقْطَعُواأَيْدِيَهُمَا
“Laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.”
Kata ‘tangan’ dalam
ayat “pencuri pria dan wanita hendaklah kamu potong tangan mereka” adalah
muthlaq.
Yang disebut tangan
adalah dari jari-jari sampai dengan pangkal lengan. Kemudian al-sunnah
membatasi potong tangan itu pada pergelangan, bukan pada siku atau pangkal
lengan.
5.
Sebagai Takhshis (pengecualian/mengkhususkan) terhadap aam dan Al-Quran.
Terdapat banyak
ayat Al-Quran yang dalam ilmu fiqih di sebut aam.
Firman Allah dalam surah an-Nisa ayat 11 :
يُوصِيكُمُاللَّهُفِيأَوْلادِكُمْلِلذَّكَرِمِثْلُحَظِّالأنْثَيَيْن
“Allah mewasiatkan kepadamu tentang
anak-anakmu, bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan”. termasuk aam.
Artinya, dalam keadaan bagaimanapun warisan tersebut satu berbanding dua. Namun
terdapat al-sunnah yang mentakhsis (mengecualikannnya), kecuali ahli waris yang
membunuh terwaris, atau berbeda agama. Dalam dadist yang
diriwayatkan oleh ibnu majah sebagai berikut:
عن ابي هريرة رضي الله عنه ان رسول
الله صلى الله عليه وسلم قا ل : القا تل
لا يرث.
(رواه ابن ما جه)
Didalam al-sunnah terdapat ketentuan agama yang tidak di atur
dalam Al-Quran. Artinya, nabi di tugaskan menjelaskan kandungan Al-Quran, dalam
ha-hal tertentu membuat ketetapan khusus sebagai wujud penjelasan hal yang
tidak tertuang eksplisit dalam Al-Quran. Surah al-A’raf: 157 menunjukkan
demikian. Disana di sebutkan,
…….وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ
الْخَبَائِث……
“dan nabi menghalalkan bagi mereka segala
yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.”
6.
Sebagai bayan tasyri’
menetapkan hukum-hukum yang tidak di tetapkan oleh al-quran, hal yang demikian
adalah seperti ketetapan rasulullah saw tentang haramnya mengumpulkan
(menjadikan istri sekaligus) antara seorang wanita dengan makciknya,
sebagaimana yang di tunjukkan oleh hadis beliau:
لا تنكح المراة على عمتها ولا على خا لتها
ولا ابنة اختها ولا ابنة اخيها
“Tidak boleh di nikahi seorang perempuan
bersama (menjadikan istri sekaligus) dengan makcik (saudara perempuan ayah)
nya. Tidak juga dengan bibi (saudara perempuan ibu) nya. Dan tidak dengan anak
perempuan saudara perempuannya atau anak perempuan saudara laki-lakinya.”
Comments
Post a Comment