Makalah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menghadapi perkembangan zaman, memang
semakin sulit. Termasuk sumber hukum dalam islam seringkali disalah gunakan
oleh masyarakat, karena minimnya pengetahuan mereka mengenai keagamaan. Yang
perlu diketahui, ada 2 hal yang terpenting mengenai hukum islam. Yakni, syariat
dan fiqih. Pertama, adalah syariat. Syariat islam bersifat fundamental, yakni
mempunyai lingkup yang lebih luas dari cakupan fiqih Bersifat konstan dan tetap
sepanjang zaman, tidak mengenal perubahan, dan tidak boleh atau tidak bisa
disesuaikan oleh zaman. Sedangkan fiqih ini, merupakan istimbath hukum melalui
ijtihad oleh para mujtahid.
Seorang mujtahid dalam kehidupan sehari-hari pada waktu mengamalkan
ajaran agama sering mmenemukan hal-hal yang perlu diselesaikan dengan
berijtihad. Bertaqlid kepada orang lain tidak diperbolehkan bagi seseorang yang
memiliki kualifikasi sebagai mujtahid. Kalau tidak deperbolehkan bertqlid,
berarti ia harus berijtihad. Kalau tidak berijtihad, maka ia tidak akan dapat beramal, karena
tidak mamperoleh petunjuk dari dalil-dalil yang kuat.
Pada hakikatnya
antara fatwa dan ijtihad memiliki perbedaan. Menurut Rifyal Ka’bah, sebagaimana
H. Uyun Kamilududdin bahwa fatwa merupakan usaha untuk memberikan penjelasan
tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahui.
Kemudian menurut Shiddieq Amien, fatwa adalah “pendapat di
bidang hukum” atau official legal opinion. Sehingga fatwa lebih spesifik dari
pada ijtihad karena ijtihad adalah istinbath hukum, baik ada maupun tidak ada
persoalan atau pertanyaan. Fatwa lebih bersifat kasuistik karena ia merupakan
respon atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa. Seperti telah
diungkapkan di atas fatwa tidak memiliki daya ikat sehingga masyarakat maupun
orang yang meminta fatwa tidak harus melaksanakan rumusan hukum yang diberikan
kepadanya. Meskipun fatwa cenderung dinamis karena ia merupakan respon terhadap
perkembangan isu yang sedang dihadapi masyarakat, tetapi isi fatwa tidak selamanya
dinamis dan responsif.
Menurut Amir Syarifuddin, ada pakar ushul fiqih yang membandingkan antara fatwa dengan ijtihad yang menurut maknanya bahwa fatwa lebih khusus dari pada ijtihad. Fatwa dilakukan setelah ada seseorang bertanya, sedangkan ijtihad dilakukan tanpa menunggu adanya pertanyaan dari pihak manapun.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat
diambil sebuah masalah yang akan kami kaji dalam makalah ini diantaranya:
A. Apa definisi ijtihad?
B. Apa pengertian dan syarat Mujtahid?
C. Apa definisi fatwa?
D. Dasar hukum fatwa?
E. Para pihak pemberi fatwa?
F. Bagaimanakah bentuk-bentuk fatwa?
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Ijtihad
Kata ijtihad asal katanya adalah jahada,
secara bahasa artinya “pencurahan segala kemampuan untuk memperoleh suatu dari
berbagai urusan”. Perkataan tersebut menunjukkan pekerjaan yang cukup sulit
dilakukan atau lebih dari seperti biasanya. Ringkasnya, ijtihad berarti
bersungguh‐sungguh atau kerja keras untuk mencapai sesuatu.
Ijtihad memiliki makna khusus di dalam
Islam, yaitu pencurahan semua kemampuan secara maksimal agar memperoleh suatu
hukum syara’ yang amali melalui penggunaan sumber syara’ yang diakui dalam
Islam. Sedangkan dalam definisi yang lain disebutkan, menurut
Muhammad Khudari Bik, “ijtihad adalah pengerahan segenap
kesanggupan oleh seorang ahli fikih atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan
tentang hukum‐hukum syara”. Seorang filosof yakni Fazlur Rahman berpendapat
bahwa, “ijtihad mengacu pada seluruh kemampuan para ahli hukum sampai pada
titik akhir untuk memperoleh prinsip dan aturan hukum dari sumber hukum Islam”.
Salah satu tujuan fundamental hukum
Islam yakni mencapai dan terwujudnya maslahah untuk seluruh insan. Hukum Islam
yang berasal dari al-Qur’an ajaran Allah subhana wa ta’ala menghendaki suatu
keadilan dan kebaikan umat manusia, oleh karena itu menuntut pemeliharaan
hingga kapanpun. Hal tersebut menjadi konsekuensi yang masuk akal dari prinsip
Islam yang umum, lalu dimengerti sebagai nilai ajaran yang meliputi seluruh
aspek kehidupan.
Dalam berkembangnya Islam, pun juga
hukum Islam turut serta mengalami sanggahansanggahan seperti peralihan dan
keanekaragaman kemasyarakatan. Sehingga melindungi kebaikan dan terlindunginya
tujuan hukum Islam pada pelaksanaan kedepannya dilakukan para pakar hukum
dengan jalan berijtihad yang dapat menanggapi dinamika dan peralihan
kemasyarakatan tersebut. Oleh karena itu peralihan kemasyarakatan tersebut yang
mengakibatkan hukum Islam yang bersifat responsif (peka), adaptis (fleksibel),
dan dinamis (bergerak).
Menganalisa suatu fatwa mengarah pada
pembahasan tentang ijtihad pada seluruh perangkatnya, karena fatwa yang
dihasilkan terhadap masyarakat setelah melaksanakan semua syarat yang telah
ditetapkan. Dalam menganalisa suatu permasalahan agar memutuskan suatu fatwa,
ada beberapa cara ijtihad yang bisa digunakan yakni ijma’, qiyas, istihsan,
maslahah mursalah, istislab, ‘urf, sad az-zari’ah dan lain-lain. Sebagai
metodologi istinbath hukum dengan tetap berpegang teguh ajaran bahwa target
yang ingin dicapai dalam hukum Islam yakni menghasilkan kebaikan (maslahat) dan
menghilangkan keburukan (mafsadat).
Teori kebaikan (maslahat) salah satu
cara istinbath hukum Islam yang sering digunakan untuk menanggapi problematika
kontemporer ketika tidak didapatkan jawabannya di dalam nash. Cara istinbath
hukum Islam yang menegaskan kebaikan (maslahat) yang dibagi menjadi 3 poin
yaitu:
1) Maslahat Mu’tabarah adalah kebaikan yang dibantu oleh dalil
untuk menjaganya. Kebaikan macam ini
memiliki tiga kedudukan yakni masālaih daruriyyah, hajjiyah dan tahsiniyah.
2) Maslahat Mulghat adalah kebaikan yang dilepaskan dengan target
adanya kebaikan yang diakui lebih kuat daripada kebaikan sebelumnya yang diakui
lebih lemah, oleh karena itu kebaikan tersebut dilepaskan.
3) Maslahat Mursalah adalah suatu yang tidak didasarkan pada ayat
nash tertentu, baik yang berprinsip umum ataupun khusus.
Semua hukum yang diraih melalui ijtihad ulama bersifat
dinamais (bergerak) dan fleksibel, karena beralih sesuai dengan peralihan
tempat dan waktu. Selain itu, karena kebaikan seluruh insan itu merupakan suatu
target yang ingin dicapai oleh hukum Islam, maka sudah sepatutnya jika terjadi
peralihan hukum dikarenakan oleh beralihnya periode dan kondisi serta konsekuensi
dari fenomena-fenomena kemasyarakatan pada suatu tempat, oleh karena itu pada
implementasi hukum Islam terhadap kondisi yang berbagai macam dibutuhkan
kelenturan hukum Islam itu sendiri. Ibnul Qoyyim pada teorinya mengemukakan
bahwa ada lima faktor yang merubah hukum Islam yakni: (1) waktu; (2) lokasi;
(3) kondisi; (4) sasaran; dan (5)
budaya.
Sehingga bisa dimengerti bahwa hasil hukum Islam yang dihasilkan dari ijtihad itu bisa berbeda dan beralaih mengikuti perkembangan strata kemajuan yang akan selalu menghadapi peralihan, serta akan selalu dinamisnya waktu, periode uga beralihnya keadaan.
B. Pengertian dan Syarat Mujtahid
Mujtahid (bahasa Arab: المجتهد) adalah orang yang mampu berijtihad dengan ilmunya yang tinggi
dan lengkap mampu mendalami dan menyimpulkan hukum-hukum Islam yang bersumber
dari al-Qur’an dan asSunnah. Adapun yang menjadi syarat-syarat mujtahid adalah
sebagai berikut:
1. Mampu berbahasa Arab dengan baik dan benar;
2. Mengetahui isi dan sistem hukum pada al-Qur’an berserta semua
ilmu untuk memahaminya;
3. Mengetahui hadist-hadist hukum dan ilmu hadist yang berkaitan
dengan pembentukan hukum;
4. Menguasai semua sumber hukum Islam dan metode untuk menarik
garisgaris hukum yang berasal dari sumber hukum Islam;
5. Mengetahui dan menguasai qawa’id al fiqhiyyah;
6. Mengetahui dan memahami rahasia dan semua tujuan hukum Islam;
7. Jujur dan ikhlas semata-mata untuk Allah;
8. Menguasai ilmu-ilmu sosial;
9. Dilakukan dengan kolektif bersama para ahli disiplin ilmu
lainnya.
Syarat nomor 1 sampai dengan 7
dibutuhkan untuk seorang mujtahid mutlak di masa yang akan datang, akan tetapi
sekarang untuk melakukan ijtihad yang tingkatannya lebih rendah dari mujtahid
mutlak syarat-syarat yang disebutkan di atas bisa diringankan. Selain syarat
nomor 1 sampai dengan 7, seorang mujtahid sudah sewajarnya menguasai dan
memenuhi syarat pada nomor 8 dan 9.
C. Definisi Fatwa
Fatwa dalam arti menurut bahasa adalah
jawaban atas suatu peristiwa. Sedangkan berdasarkan syara’ yakni menjelaskan
hukum syara’ pada permasalahan sebagai tanggapan dari suatu pertanyaan,
meskipun penanya itu jelas data dirinya ataupun tidak diketahui, baik sendiri
ataupun bersama-sama.
Imam Zamahsyari pada bukunya “al-kasyaf”
definisi fatwa yakni “suatu jalan yang lapang/lurus”. Adapun secara lughawi
(bahasa) فتوى, alfatwa; mufrodnya fatâwa artinya
“petuah, nasehat, jawaban atas pertanyaan yang bertalian
dengan hukum Islam”. Berdasarkan ilmu Ushul Fiqh, fatwa yakni opini yang
dicurahkan oleh mujtahid atau mufti menjadi tanggapan atas permintaan yang
diajukan oleh orang yang memohon fatwa (mustafti) pada problematika yang
sifatnya tidak mengikat, artinya ialah mustafti tersebut bisa individu atau
lembaga atau kelompok atau masyarakat, tidak harus mengamalkan fatwa tersebut,
karena fatwa tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Akan halnya definisi fatwa berdasarkan
hukum Islam yakni interpretasi hukum syar’iyah dalam menanggapi suatu
problematika yang ditanyakan oleh individu yang bertanya, baik interpretasi itu
jelas atau tidak jelas (ragu-ragu) dan interpretasi itu menargetkan pada dua
keperluan yakni keperluan pribadi dan keperluan masyarakat luas.
Menurut Drs. Rohadi Abdul Fatah, fatwa
adalah “kumpulan nasehat atau wejangan yang berharga untuk kemaslahatan umat”.
Sedangkan menurut Amir Syarifudin fatwa adalah
“usaha memberikan penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya
kepada orang yang belum mengetahuinya”.
D. Dasar Hukum Fatwa
Fatwa menjadi suatu usaha ulama untuk
menanggapi problematika yang dialami umat yang membutuhkan penetapan hukum.
Kecondongan intelek yang dilakukan oleh ulama-ulama untuk bisa menanggapi suatu
problematika yang bersangkutan kuat terhadap ijtihad.
E. Para Pihak Pemberi Fatwa
Terdapat syarat-syarat yang wajib
dipenuhi agar dapat ditetapkan sebagai mufti (pemberi fatwa). Imam an-Nawawi
mengemukakan bahwa syarat-syarat tersebut yakni sebagai berikut:
A. Mukallaf;
B. Beragama Islam;
C. Memiliki pribadi yang kuat;
D. Dipercayai;
E. Bersih dari sifat yang tercela;
F. Memiliki jiwa yang kuat;
G. Otaknya cerdas;
H. Memiliki pikiran yang tajam;
I. Dapat melakukan penetapan hukum (istinbath hukum);
J. Jasmani dan rohani yang sehat.
Imam an-Nawawi membubuhkan bahwa agar
dapat ditetapkan menjadi mufti tidak cukup didominasi oleh orang-orang yang
jenis kelaminya pria saja, tetapi wanita pun juga bisa menjadi seorang mufti,
begitu juga orang yang memiliki kekurangan fisik, tetapi orang-orang tersebut
mengerti tulisan atau isyarat yang diberikan kepadanya dalam tatanannya sebagai
mufti.
Jalaluddin al-Mahalli mengemukakan bahwa
menjadi syarat seorang mufti yakni mengerti semua pendapat dan semua kaidah
dalam ushul fiqh dan fiqh, memiliki kesempurnaan untuk melakukan ijtihad,
mengerti ilmuilmu yang diperlukan untuk mengatur suatu hukum (istinbath
al-hukm), seperti ilmu tentang Nahwu, bahasa, mushthalah al-hadits, tafsir
al-Qur’an dan hadistyang berkaitan dengan hukum. Adapun As-Syaukani
mengemukakan tiga syarat yakni mampu berijtihad, al-adl dan terhindar dari
bermudah-mudahan dalam hukum.
Mufti bisa menghasilkan sebuah fatwa
jika memenuhi empat syarat wajib, yakni (1) mufti tersebut wajib menguasai
bahasa arab dengan keseluruhan dari segala aspeknya; (2) Mufti tersebut
memahami ilmu alQur`an dengan keseluruhan dari segala aspeknya yang
bersangkutan tentang hukum-hukum yang disebutkan di dalam al-Qur`an dan mengusai
secara akurat berbagai cara istinbath al-hukm dari ayat-ayat tersebut.
Fatwa menjadi hasil ijtihad dari
mujtahid dan mufti yang dapat dihasilkan dengan bentuk ucapan ataupun tulisan.
Oleh sebab itu, korelasi antara ijtihad dengan fatwa sangat kuat, karena
ijtihad itu menjadi satu usaha yang maksimum oleh mujtahid untuk menetapkan
hukumhukum tertentu, sedangkan fatwa berasal dari ijtihad tersebut. Jika
tertutup pintu ijtihad maka tidak ada fatwa.
F. Bentuk-bentuk Fatwa
Profesi untuk menetapkan fatwa (al-ifta)
yakni serupa dengan ijtihad. Sepakatnya ahli ilmu (ulama) bahwa al-ifta bisa
diwujudkan oleh perindividu (ijtihad fadiy) atau kolektif
(ijtihad jama’i). Ijtihad fadiy adalah individu yang
mewujudkan ijtihad terhadap problematika tertentu yang globalnya bersangkutan
dengan kepentingan antar manusia. Adapun ijtihad
Jama’i yakni sekelompok para pakar yang melakukan ijtihad
terhadap problematika tertentu yang globalnya bersangkutan dengan kepentingan
umum.
Cara ijtihad yang dilakukan dengan kolektif
ini mendapatkan Justifikasi dari al-Quran, selain itu pernah dilakukan sunnah
Rasulullah serta generasi emas pada 3 abad pertama Hijriah. Sewaktu zaman
Rasulullah kerapkali dikumpulkan oleh Rasulullah dan dimintai pandangannya
Terkait suatu masalah. Budaya dalam ijtihad kolektif ini juga dilanggengkan
Oleh generasi emas setelah Rasulullah wafat. Di era kontemporer, ijtihad
kolektif diwujudkan dengan majelis yang khusus dilangsungkan oleh organisasi
masyarakat di bidang keagamaan, baik tingkat dunia maupun lokal Indonesia. Pada
tingkat dunia diketahui majma’ al-buhuts alIslamiyah, majma’ al-fiqh al-Islami,
dan lainnya. Adapun pada tingkat lokal
Indonesia dikenal komisi fatwa MUI,
bahtsul matsail Nahdlatul Ulama, majelis tarjih Muhammadiyah, lembaga hisbah
Persis, dan Dewan Fatwa perhimpunan al-Irsyad. Yang menjadi sebab lebih memilih
dilakukannya ijtihad jama’i daripada ijtihad fadiy antara lain:
a.
Terus berkembangnya
pembaharuan dalam segala aspek kehidupan. Problematika kontemporer ini tidak
mumpuni apabila diatasi dengan ijtihad fadiy, oleh sebab itu dibutuhkan adanya
satu majelis yang saling bertukar pendapat dan musyawarah antara ahli ilmu yang
memiliki latar belakang disiplin ilmu beda-beda;
b. Terus berkembangnya pengkhususan ilmu pengetahuan. Dalam bermacam-macam latar belakang disiplin ilmu khususnya mengakibatkan ahli ilmu tidak bisa menanggulangi ilmu pengetahuan yang kompleks seperti apa yang dilakukan ulama salaf. Untuk mengatasi satu problematika, kerapkali dibutuhkan banyak masukan dari banyak ahli ilmu yang latar belakangnya bersangkutan dengan problematika itu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijtihad adalah mencurahkan segala
kesanggupan dan kemampuan seorang ahli fiqh dalam menetapkan (istinbath) hukum
yang berhubungan dengan amal perbuatan dari dalilnya secara terperinci. Orang
yang melakukan ijtihad disebut Mujtahid.
Fungsi ijtihad diantaranya adalah untuk
menciptakan suatu keputusan antara para ulama dan para ahli agama (yang
berwenang) untuk mencegah kemudharatan dalam penyelesaian suatu perkara yang
tidak ditentukan secara eksplisit oleh Al-Qur’an dan hadits.
Substansi Fatwa Fatwa adalah pendapat
hukum yang diberikan oleh seorang ulama (faqih) kepada seseorang atau
masyarakat yang mengajukan pertanyaan menyangkut hukum kasus yang sedang
dialaminya tanpa mengikat. Fatwa juga dijadikan rujukan di dalam bersikap dan
bertingkah laku oleh umat Islam. Sebab, posisi fatwa bagi masyarakat umum
bagaikan dalil dikalangan mujtahid. Artinya kedudukan fatwa bagi warga
masyarakat yang awam terhadap ajaran agama Islam, seperti dalil bagi mujtahid.
DAFTAR PUSTAKA
Alaiddin, Koto. 2004. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Totok Jumantoro dan
Samsul Munir Amin. 2009. Kamus Ilmu Ushul
Fiqih. Jakarta: Bumi
Aksara.
Comments
Post a Comment