BAB I
PENGERTIAN
DAN PELAKSANAAN
SYARIAT
ISLAM DI ACEH
A.
PENGERTIAN SYARI’AT ISLAM
Secara
etimologis, syariat islam terdiri dari dua kata, syariat artinya hukum agama
dan islam artinya agama yang diajarkan
oleh nabi muhammad SAW, berpedoman pada kitab suci al-quran, yang diturunkan
kedunia melalui wahyu Allah SWT.
Dapat
disimpulkan bahwa Syariat islam adalah Ajaran islam
yang berpedoman pada kitab suci al-qur’an.
Jadi pengertian tersebut harus bersumber dan berdasarkan kitab suci al-qur’an,
pandangan normative dari syariat islam harus bersumber dari nilai-nilai dan
kaidah-kaidah yang tercantum dalam al-qur’an. Al-qur’an lah yang menjadi
pangkal tolak dari segala pemahaman tentang syari’at islam. Kerangka dasar
ajaran islam adalah akidah, syar’iyah dan
akhlak. Ketiganya bekerja sama untuk
mencapai suatu tujuan yang bersumber pada tauhid,
sebagai inti akhidah yang kemudian
melahirkan syar’iyah, sebagai jalan
berupa ibadah dan muamalah, serta akhlak sebagai tingkah laku baik kepada Allah
SWT maupun kepada makhluk ciptaan-Nya yang lain.
Menurut
M. Daud Ali, Syariat adalah jalan yang
harus ditempuh, dalam arti teknis, syariat adalah seperangkat norma ilahi yang
mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lain
dalam kehidupan social, hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan
hidupnya.
Akhlak adalah
peringai atau tingkah laku yang berkenaan dengan sikap manusia, terbagi
atas akhlak terhadap Allah SWT dan terhadap sesama
makhluk. Akhlak terhadap
sesama makhluk terbagi atas akhlak terhadap manusia, yakni diri sendiri,
keluarga, dan masyarakat, serta akhlak terhadap makhluk bukan
manusia yang ada di sekitar lingkungan hidup, yakni tumbuh-tumbuhan, hewan,
bumi, air, serta udara.
Menurut
M. Daud Ali, Syariat adalah jalan yang harus ditempuh. Dalam arti teknis,
syariat adalah seperangkat norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan
Allah, hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan sosial, hubungan
manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya. Syariat islam ini berlaku bagi hamba-Nya yang berakal, sehat, dan
telah menginjak usia baligh atau dewasa. (dimana sudah mengerti/memahami segala
masalah yang dihadapinya). Tanda baligh atau dewasa bagi anak laki-laki, yaitu
apabila telah bermimpi bersetubuh dengan lawan jenisnya, sedangkan bagi anak
wanita adalah jika sudah mengalami datang bulan (menstruasi).
Bagi orang
yang mengaku Islam, keharusan mematuhi peraturan ini diterangkan dalam firman
Allah SWT. "kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat
(peraturan) dari agama itu, maka ikutilah syariat itu, dan janganlah engkau
ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui." (QS. 45/211-Jatsiyah:
18).
B. SYARIAT ISLAM DAN QANUN
Syari’at Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.Pelaksanaan
Syari’at Islam diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam(Dinas Syari’at
Islam,2009: 257). Adapun aspek-aspek pelaksanaan Syari’at
Islam adalah seperti terdapat dalam Perda Daerah Istimewa Aceh nomor 5 tahun 2000
tentang Pelaksanaan Syari’at Islam. Bab IV Pasal 5 ayat 2, yaitu: Aqidah, Ibadah,
Muamalah, Akhlak, Pendidikan dandakwah Islamiyah/amar makruf anhi munkar,
Baitulmal, kemasyarakatan, Syiar Islam, Pembelaan Islam, Qadha, Jinayat,
Munakahat, dan Mawaris.
Dasar hukum dan pengakuan Pemerintah untuk pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh,didasarkan
atas UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh dan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pelaksanaan
Syari’at Islamdi Aceh telah diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh
Darussalam, pasal 31 disebutkan:
1. Ketentuan pelaksanaan undang-undang
ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
2.
Ketentuan Pelaksanaan undang-unang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Peraturan pelaksanaan untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang
berkaitandengan kewenangan pemerintah pusat akan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
C. TUJUAN SYARI’AT ISLAM
Tujuan
Allah SWT merumuskan hukum islam adalah untuk kemaslahatan umat manusia, baik
didunia maupun di akhirat. Tujuan dimaksud hendak dicapai melalui taklif.
Taklif itu baru dapat dilaksanakan bila memahami sumber hukum islam, kemudian tujuan itu tidak akan tercapai kecuali dengan keluarnya seseorang dari diperbudak oleh hawa nafsunya, menjadi hamba Allah dalam arti tunduk keada-Nya. Salah satu ayat al-quran yang menunjukkan pernyataan bahwa tujuan hukum islam adalah untuk kemaslahatan umat manusia yaitu surat al-anbiya ayat 107 yang berbunyi: ”dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
Untuk mewujudkan kemaslahatan ada lima hal pokok yang harus diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama, nyawa, akal,keturunan, dan harta. Lima masalah pokok ini wajib dipelihara oleh setiap manusia. Untuk itu, didatangkan hukum islam berupa perintah, larangan, dan keijinan yang harus dipatuhi oleh setiap mukallaf.
Masing-masing lima pokok tersebut dalam
mewujudkan dan memeliharanya dikategorikan kepada beberapa klasifikasi menurut
tingkat prioritas kebutuhan, yaitu kebutuhan daruriyat,
kebutuhan hajiyat, dan kebutuhan tahsiniat. Ketiganya harus terwujud
dan terpelihara. Memelihara kebutuhan daruriyat dimaksudkan perwujudan
dan perlindungan terhadap lima pokok yang telah diuraikan dalam batas jangan
sampai terancam eksistensinya. Memelihara kebutuhan hajiyat dimaksudkan
perwujudan dan perlindungan terhadap hal-hal yang diperlukan dalam kelestarian
lima pokok tersebut, tetapi di bawah kadar batas kepentingan daruriyat. Tidak
terpeliharanya kebutuhan ini, tidak akan membawa terancamnya eksistensi lima
pokok tersebut, tetapi membawa kepada kesempitan dan kepicikan, baik dalam
usaha mewujudkan maupun dalam pelaksanaannya; sedangkan kepicikan dan
kesempitan itu di dalam ajaran Islam perlu disingkirkan. Berdasarkan uraian di
atas, untuk mewujudkan dan melestarikan tiga kategori kebutuhan tersebut, Allah
SWT menurunkan hukum-Nya. Melaksanakan taklif hukum-Nya itu, maka
kebutuhan yang diperlukan oleh setiap manusia mukallaf akan terwujud dan
terpelihara, yang merupakan kebahagiaan bagi umat manusia atau yang biasa
disebut keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
D.
PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM di ACEH
Dalam perjalanan Syariat Islam di Aceh, jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, maka Aceh memiliki keunikan karena masyarakatnya mampu menyerap budaya dan menyesuaikan diri. Dalam konsiderans UU no. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh menempatkan ulama pada peran yang terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Contohnya, para ulama di Aceh mendapatkan tempat yang istimewa dalam hal memberikan pandangan-pandangan, saran-saran, dan masukan-masukan untuk menetapkan suatu kebijakan. Hal tersebut tidak didapatkan para ulama di daerah lain. Contoh lain, para ulama Aceh sejak abad ke-17 telah dapat menerima dan bahkan mendorong kehadiran perempuan dalam ranah kegiatan publik, seperti menjadi anggota Dewan PerwakilanRakyat, hakim pada mahkamah, panglima perang, sampai menjadi kepala negara (Sultan), yang di banyak tempat dianggap sebagai tidak sejalan dengan ajaran Islam.
Aceh dapat dikatakan sebagai daerah yang memiliki pengalaman sejarah seperti yang telah disebutkan di atas dalam penyesuaiannya sudah relatif sangat lentur dengan budaya lokal dan dapat menjadi tempat untuk pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah. Senada dengan hal tersebut, Daud Rasyid mengatakan bahwa Aceh seharusnya menjadi pilot project bagi perjuangan Syariat.
Menurut Rusdi Ali Muhammad dalam pidato pengukuhan Guru Besar Rektor UIN Ar-Raniry Banda Aceh bahwa kurangnya pemahaman terhadap Al-Qur’an akan membawa kepada pola penalaran yang tidak memiliki semangat universalitas, fleksibilitas, kering akan nuansa sosiologis dan bahkan akan menyulitkan penerapan Syariat Islam dalam kehidupan manusia. Padahal hakekat keberadaan Syariat Islam adalah membawa kemaslahatan bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat.
BAB II
SEJARAH
SYARIAT ISLAM DI ACEH
A. SEJARAH PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI ACEH.
1. Masa kerajaan Aceh.
Kerajaan Aceh mencapai gemilang masa pemerintahan iskandar muda (1607-1636). Salah satu usaha beliau adalah meneruskan perjuangan sultan sebelumnya untuk melawan kekuasaan portugis yang sangat membenci islam. Dia juga mendorong penyebaran agama islam keluar kerajaan Aceh, seperti malaka dan pantai barat pulau sumatera. (Zakaria Ahmad, 1973:20-22).
Peradilan islam dibentuk untuk mengatur tatanan hokum yang
di atur oleh ulama. Pengadilan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk mengatur
jalan roda hokum tanpa meminta persetujuan pihak atasan, peranan Qadhi malikul
Adil (hakim agung kesultanan) di pusat kerajaan Aceh memiliki kewenangan
seperti Mahkamah Agung sekarang ini.
Setiap kawasan ada Qadhi ulee baling yang memutuskan perkara di daerah tersebut. Jika ingin mengajukan banding diteruskan pada Qadli Maliku Adil. Kedua Qadhi ini diangkat dari kalangan ulama yang cakap dan berwibawa.
Sultan Aceh merupakan pelindung ajaran islam sehingga banyak ulama dating ke Aceh. Pada masa itu hidup ulama seperti Hamzah fansuri, Syamsuddin As-samathrani dan syekh Ibrahim as-syami. Pada masa iskandar thani (1636-1641) dating Nuruddin arraniri. Pada tahun 1603, bukhari al jauhari mengarang buku tajussalatih (mahkota raja-raja), sebuah buku yang membahas tata Negara yang berpedoman pada syariat islam ( zakaria ahmad, 1973: 22).
Di bawah perintah sultan juga ditulis buku mit’at-uttullah
karangan syekh abdurra’uf disusun pada masa pemerintahan sultanah safiattuddin
syah ( 1641-1675 ), dan buku safinat-ulhukkamyi takhlish khashham karangan
syekh jalaluddin at-tarussani disusun masa pemerintahan sultan alaiddin
johansyah (1732-1760). Buku ini ditulis sebagai pegangan hakim dalam menyelesaikan
perkara yang berlaku di seluruh wilayah di seluruh kerajaan Aceh sendiri dan di
seluruh rantau takluknya. Kedua buku ini bersumber pada buku-buku fiqih
bermazhab syafi’i.
Hukum berlaku untuk setiap lapisan masyarakat termasuk kaum
bangsawan dan kerabat raja. Dari cerita mulut ke mulut iskandar muda
menjatuhkan hukuman rajam kepada anak kandungnya sendiri karena terbukti
berzina dengan salah seorang isteri bangsawan di lingkungan istana. Raja ling
eke XIV masa sultan ala’uddin ri’ayatsyah-al qahhar (1537-1571) di jatuhi
hukuman oleh qadli malikul adil untuk membayar 100 ekor kerbau kepada keluarga
adik tirinya yang dia bunuh dengan sengaja ( al yasa’ abu bakar, 2006:389-390)
Masa Aceh di bawah tampuk kerajaan masa dulu sudah di
terapkan syariat islam,buktinya adalah:
A. datangnya ulama-ulama besar, berarti kebutuhan dan penghargaan terhadap ulama masa itu sangat besar.
B. Di bentuknya peradilan islam yang di atur oleh
ulama tanpa campur tangan penguasa, ada keleluasaan untuk menjalankan hukum
syariah.
C. Pengadilan di buat sistematis, dari
tingkat daerah hingga pusat. Masalah yang tidak selesai di tingkat daerah(
qadhi ulee baling) diteruskan ke mahkamah yang lebih tinggi (qadhi malikul
adil).
D. Jika kisah iskandar muda yang
menghukum anaknya berzina adanya, berarti hukum rajam bagi pelaku zina sudah
diberlakukan pada saat itu.
2. Masa awal kemerdekaan Indonesia dan orde baru.
Ketika kemerdekaan Indonesia di deklarasikan soekarno pada 17 agustus 1945, aceh belum menjadi bagian dari NKRI. Kesediaan bergabung dalam wilayah RI karena adanya janji soekarno yang ingin memberikan kebebasan untuk mengurus diri sendiri termasuk pelaksanaan syariat islam. Janji itu terucap pada tahun 1948, bung karno dating ke aceh mencari dukungan moril dan materil bagi perjuangan bangsa Indonesia melawan belanda. Kebebasan melaksakan syariat merupakan imbalan jika bangsa Aceh bersedia memberikan bantuan.
Gayung pun bersambut. Di bawah komando daud beureueh berhasil terkumpul dana sebanyak 500.000 dolar AS. Untuk membiayai ABRI 250.000 dolar,50.000 dolar untuk perkantoran pemerintahan,100.000 dolar untuk biaya pengembalian pemerintahan RI dari Yogya ke Jakarta. Bangsa Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membelia oblogasi pemerintahan dan dua pesawat terbang, selawah agam dan selawah dara.
Janji yang di lontarkan sang presiden RI di wujudkan malah provinsi Aceh di satukan dengan provinsi sumatera utara tahun 1951. Hak mengurus wilayah sendiri dicabut. Rumah rakyat,dayah,menasah yang hancur porak-porandaakibat peperangan melawam Belanda dibiarkan begitu saja. Dari sinilah daud beureueh menggulirkan ide pembentukan Negara islam Indonesia( DII ), april 1953 dia bergerilya ke hutan. Namun pada tahun 1962 bersedia menyerah karena di janjikan akan di buatkan UU syariat Islam bagi rakyat Aceh (majalah Era Muslim “untold history”. ] 30 September 2009 jam 22:35)
Setelah itu di berikan otonomi khusus untuk menjalankan proses keagamaan, peradatan dan pendidikan namun pelaksanaan syariat islam masih sebatas yang di izinkan pemerintah pusat. Hal itu tertuang dalam keputusan penguasa perang (panglima militer 1 Aceh/ iskandar muda, colonel M.Jasin) no KPTS/PEPERDA-061/3/1962 tentang kebijaksanaan unsure-unsur syariat agama islam bagi pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh yang berbunyi :
“ pertama: terlaksananya secara tertib dan seksama
unsur-unsur syariat agama islam bagi pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh, dengan
mengindahkan peraturan perundangan Negara.
Kedua: penertiban pelaksanaan arti dan maksud ayat pertama
di serahkan sepenuhnya kepada pemerintah Daerah Istimewa Aceh. (al yasa Abu
Bakar, 2006:33).
Pada tahun 1966 orde baru yang berkuasa, di sahkan peraturan daerah nomor 1 tahun 1966 tentang pedoman dasar majelis permusyawaratan ulama. Fungsi majelis ini adalah sebagai lembaga pemersatu umat, sebagai penasehat pemerintah daerah dalam bidang keagamaan dan sebagai lembaga fatwa yang akan memberikan pedoman kepada umat islam dalam hidup keseharian dan keagamaanya.
Langkah untuk mewujudkan syariat islam melalui PERDA yang mengatur rambu-rambu pelaksanaan stariat islam di Aceh ditempuh dengan membuat panitia khusus yang terdiri dari cendekiawan dan ulama di luar DPRD. Rancangan ini disahkan DPRD menjadi peraturan daerah nomor 6 tahun 1968 tentang pelaksanaan unsure syariat islam Daerah Istimewa Aceh. Ketika peraturan daerah ini di ajukan kedepartemen dalam negeri untuk mengesahkan namun di tolak dan secara halus (tidak resmi) meminta DPRD dan PEMDA Aceh mencabut PERDA tersebut.
Tahun 1974 pemerintah mengesahkan undang-undang tentang pokok pemerintahan didaerah yang antara lain menyatakan bahwa sebutan Daerah Istimewa Aceh hanyalah sekedar nama, peraturan sama dengan daerah lain. Syariat islam yang berlaku di tingkat gampong dig anti dengan undang-undang no:5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa ( alyasa abu bakar, 2006:31-39)
Tidak ada penerapan syariat islam sama sekali baik pada masa
orde lama maupun orde baru. Syariat islam Cuma senjata politik untuk memuluskan
rencana penguasa.
Periode orde lama, soekarno menggunakan janji keleluasaan penerapan syriat islam untuk mencari dukungan dari pemimpin Aceh, Abu Beureueh dan berhasil. Saat janji yang tak pernah di tepati itu ditagih melalui perlawanan bersenjata, kembali jurus syariat islam yang di pergunakan dan sekali lagi berhasil. Beberapa PERDA yang mengatur tata pelaksanaan syariat namun sebatas yang di bolehkan penguasa. Masa orde lama pun tak jauh beda. Syariat islam Cuma sekedar usaha penguatan kedudukan di mata masyarakat yang sudah hilang kesabaran menanti janji pemerintah. Setelah kepercayaan masyarakat tumbuh malah syariat islam yang di laksnakan turun-temurun tingkat desa malah di hapuskan dan di ganti dengan peraturan yang berlaku di seluruh Indonesia.
3. Syariat islam era otonomi khusus (sekarang).
Penerapan syariat islam era otonomi khusus untuk aceh akrab dengan kata-kata “ penerapan syariat islam secara kaffah di Aceh”. Bisa di artikan usaha untuk memberlakukan islam sebagai dasar hukum dalam tiap tindak-tanduk umat muslim secara sempurna.
Istilah kaffah digunakan karena Negara akan melibatkan diri dalam pelaksanaan syariat islam di Aceh. Membuat hukum positif yang sejalan dengan syariat, merumuskan kurikulum yang islami, dan masalah-maslah lain yang berkaitan dengan syariat.
Dasar hukum pelaksanaan syariat islam di Aceh adalah diundangkan UU no 44 tahun 1999 dan UU no 18 tahun 2001. Dalam undang-undang nomor 44 syariat islam didefinisikan sebagai semua aspek ajaran islam. Dalam undang-undang nomor 18 disebutkan bahwa mahkamah syar’iyah akan melaksanakan syariat islam yang di tuangkan ke dalam qanun terlebih dahulu. Qanun adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah Aceh untuk melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya di Aceh ( al yasa abu bakar, 2004:61).
Pelaksanaan syariat islam secara kaffah mempunyai beberapa tujuan , di antaranya yaitu:
1. Alas an agama: pelaksanaan syariat
islam merupakan perintah agama untuk dapat menjadi muslim yang lebih
baik,sempurna, lebih dekat dengan ALLAH.
2 Alas an psikologis: masyarakat akan merasa
aman dan tenteram karena apa yang mereka jalani dalam pendidikan, dalam
kehidupan sehari-hari sesuai dan sejalan dengan kesadaran dan kata hati mereka
sendiri.
3. Alasan hukum: masyarakat akan hidup
dalam tata aturan yang lebih sesuai dengasn kesadaran hukum, rasa keadilan dan
nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat.
4. Alas an ekonomi dan kesejahteraan
sosial: bahwa nilai tambah pada kegiatan ekonomi, serta kesetiakawanan sosial
dalam bentuk tolong menolong, baik untuk kegiatan ekonomi atau kegiatan sosial
akan lebih mudah terbentuk dan lebih solid.
B. LEMBAGA YANG TERKAIT PENERAPAN SYARIAT ISLAM.
a. Dinas syariat islam.
b. Majelis permusyawaratan
ulama (MPU)
c. Wilayatul hisbah (WH)
C. SISTEM PENYUSUNAN HUKUM SYARIAT ISLAM DI NAD
Syariat islam yang akan menjadi hukum materil dituliskan
dalam bentuk qanun terlebih dahulu, untuk mencegah kesimpangsiuran. Penerapan
hukum jika hakim mengambil langsung dari buku-buku fikih dan berijtihad sendiri
dari al-quran dan sunnah rasul. Sebelum terbentuknya qanun terlebih dahulu di buat rancangan
oleh sebuah team untuk disosialisasikan kepada masyarakat untuk memperoleh
masukan dan tanggapan. Setelah itu dilakukan konsultasi antara DPRD dengan MPU.
Hukuman cambuk
Hukuman
cambuk merupakan salah satu hukum yang berlaku dalam syariat islam NAD.
Ketentuan dlam hukum cambuk antara lain:
a. Terhukum dalam kondisi sehat.
b. Pencambuk adalah wilayatul hisbah yang di
tunjuk jaksa penuntut umum.
c. Cambuk yang digunakan adalah rotan
dengan diameter 0.75 s/d 1.00 cm.
d. Jarak pencambuk dengan terhukum
kira-kira 70 cm.
e. Jarak pencambuk dengan orang yang
menyaksikan paling dekat 10 meter.
f. Pencambukan di hentikan jika
menyebabkan luka, di minta dokter atas pertimbangan medis, atau terhukum
melarikan diri.
g. Pencambukan akan dilanjutkan setelah
terhukum dinyatakan sehat atau setelah terhukum menyerahkan diri atau
tertangkap.
BAB III
A. SEJARAH
DINAMIKA PEMIKIRAN ISLAM
Sejarah
pemikiran Islam selalu sejalan dengan perkembangan peradaban Islam, mulai dari
masa Rasulullah sampai masa sekarang ini. Karena semua hasil pemikiran manusia
adalah sebuah budaya dan menjadi sebuah peradaban. Oleh sebab itu dalam perjalanannya
selama lebih dari 14 abad, pemikiran Islam mengalami perkembangan dan dinamika.
Para ahli berbeda dalam membagi priodeisasi perkembangan pemikiran dan peradaban Islam. Khudhary Beyk,
dalam karyanya membagi ke dalam enam periode[1],
yaitu:
1. Periode Rasulullah saw.
2. Periode Sahabat Besar hingga berakhir
masa Khulafaurrasyidin
3. Periode sahabat kecil hingga tabi’in
yang berakhir pada akhir abad pertama Hijriah
4. Periode perkembangan pemikiran hukum Islam
menjadi satu disiplin ilmu keIslaman yang ditandai dengan lahirnya imam-imam
mujtahid yang berakhir hingga abad ke 13 Hijriah
5. Periode perkembangan diskusi tentang
pemikiran hukum Islam dan lahirnya penulis-penulis besar yang berlangsung
hingga kejatuhan Dinasti Bani Abbas 1258 M/756 H.
6. Periode taklid sejak runtuhnya Bani
Abbasiyah.
Asaf A.A. Fyzee membagi
perkembangan hukum Islam menjadi lima periode[2],
yaitu:
1. Periode tahun pertama hijriah hingga
wafatnya Rasulullah (10 Hijriah).
2. Periode khulafaurrasyidin (10-40
Hijriah)
3. Periode abad ke tiga Hijriah
4. Periode panjang kemunduran hukum Islam
secara merata di dunia Islam hingga jatuhnya Dinasti Usmani 1924 M.
5. Periode modern sejak kejatuhan Dinasti
Usmani dimana hukum Islam kehilangan sanksi dan hanya menjadi hukum moral.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution
periodisasi sejarah peradaban Islam terbagi pada 3 periode[3]
:
1.
Periode
Klasik (650-1250 M)
Meliputi dua
masa kemajuan yaitu masa Rasulullah SAW, Khulafaurrasyidin, Bani Umayyah, dan
masa-masa permulaan Daulah Abbasiyah.
2.
Periode Pertengahan
(1250-1800 M.)
Pada periode ini terjadi dua masa kemunduran dan masa Tiga Kerajaan Besar.
Turki Utsmani, Dawlah Shafawiyah, dan Dawlah Mongoliyah di India. Fase Tga
Kerajaan Besar mengalami kemajuan pada tahun 1500-1700 M. dan mengalami kemunduran
kembali pada 1700-1800 M.
3.
Peridoe
Modern (1800- sekarang)
Pada periode
ini umat Islam banyak belajar dari dunia Barat dalam rangka mengembalikan
keseimbangan kekuatan antara barat dan dunia Islam. Dalam era ini Islam mulai
bangkit kembali dengan melakukan pembaharuan (tajdid).
B. PERKEMBANGAN
AWAL PEMIKIRAN ISLAM
Kajian modern tentang warisan intelektual Islam klasik umumnya berakhir dengan Ibn khaldun, kebetulan atau tidak, kenyataannya bahwa Dunia Islam, tidak seberapa lama sesudah kepergian pemikir besar itu, berada dalam hubungan yang tidak menguntukan dengan dunia luar Islam, khususnya Eropa barat. Kehebatan prestasi Ibn Khaldun dikontraskan dengan situasi Dunia Islam dalam konteks global yang kurang beruntung tersebut memang dapat menimbulkan kesan amat kuat tentang mendekatnya kegiatan Intelektual Umat sesudah pemikir besar itu.
C. MODE PEMIKIRAN ISLAM
1.
Kelompok Neo-Tradisionalisme
Kelompok
ini lebih cendrung kepada sufisme yang kental bercampur dengan filsafat. Mereka
lahir dan berkembang setelah Perang Dunia II, F. Schuon, Hossein Nasr, Hamid Algar,
Roger Garaudy, Martin Lings, Muhammad Naquib Al-Attas, barang kali dapat
digolongkan kelompok ini. Kecuali Nasr dan Al-Attas yang memang berasal dari
kultur Islam, yang lain adalah sarjana-sarjana barat yang menyebrang menjadi
muslim setelah mereka dewasa.
2. Kelompok Modernis dan Penerusnya Neo-Modernis Islam
Tokoh-tokoh
kelompok ini antara lain Al-Afghani, Muhammad Abduh, Ahmad Khan, Syibli,
Nu’mani, Namik Kemal, H.Agus Salim, Muhammad Natsir, Buya Hamka, Fazlur Rahman
dan Ali Syariati. Kelompok ini dikenal sebagai kelompok pembela ijdtihad
sebagai metode utama untuk meretas
kebekuan berfikir umat Islam. Mereka sadar sepenuhnya bahwa kejatuhan umat Islam
sama sekali bukan karena agamanya, tapi semata-mata karena keasalah pahaman dan
ketidak cerdasan meraka dalam membaca ajaran Islam.
3.
Kelompok Sekularis atau Islam Liberal
Tokoh-tokoh
utama kelompok ini, diantaranya adalah Ali Abd Raziq, Kemal Atturk, Sukarno,
Bassam Tibi, Abdullah Laroui, Detlev H. Khalid. Mungkin juga Abu Kalam Azad
dapat pula dimasukkan dalam kelompok ini. Atribut sekularis disini hendaklah
dibatsi dalam pandangan mereka tentang hubungan Islam dan politik. Bagi mereka,
agama (termasuk Islam) harus dipisahkan menjadi sistem etika belaka. Bassam
Tibi, misalnya, melalui karya-karyanya dalam bahasa Jerman (sebagian telah
diterjemahkan kedalam bahasa Inggris), telah mengangkat kembali masalah
hubungan Islam dengan kekuasaan.
4. Kelompok Post Tradisionalisme
Kelompok ini adalah kelompok yang serba eksklusif Islam atau katakanlah mereka sebagai Islamis, yang menjadikan Islam terutama sebagai ideologi politik. Mereka ini sangat anti barat. Mereka hendak menawarkan Islam yang katanya belum tercemar oleh noda peradaban lain. Tokoh-tokohnya adalah seperti Abul A’la Al-Maududi, Sayid Quthb, dan sampai batas yang jauh Ayatullah Khomeini, bapak spiritual Revolusi Iran yang spektakuler itu. Dari ketiganya hanyalah Khomeini yang berhasil meraih kemenangan politik dengan meruntuhkan rezim Syah yang disokong mati-matian oleh Amerika Serikat.
Karena muatan politik begitu menyarati pemikiran kelompok ini, maka formulasi Islamnya tidak jarang terlalu dicoraki oleh ekspediensi politik semasa. Maka tidaklah mengherankan kalau fondasi intelektualismenya sulit sekali mencapai kestabilan. Dengan cara ini, rona wajah Islam akan sangat ditentukan oleh penafsiran mereka terhadap fluktuasi politik dari masa kemasa.
D. FARIASI PEMIKIRAN ISLAM
1. Bidang Kalam
(Teologi)
Munculnya
teologi pada pertengahan abad kedelapan merupakan hasil dari suatu semangat penyelidikan
baru yang dikobarkan dalam dunia muslim oleh
perkenalan dengan filsafatYunani. Namun dalam beberapa hal interaksi antara filsafat
dan dogma menghasilkan suatu perpecahan antara keduanya.
2. Bidang Fiqih
Bidang
fiqih atau lebih dikenal dengan syariat mempunyai perkembangan fiqih pada masa itu
merupakan pemahaman ilmu agama secara keseluruhan, termasuk tauhid, akhlak, dan
hukum tanpa ada pemisahan pemahaman. .
[1] Muhammad Khudhary Beyk, Tarikh al-Tasyri al-Islam, (Surabaya: Maktabah
al-Hidayah, t.tp.,) hal. 4-5.
Sebagaimana dikutip oleh Muhammad Iqbal,
Hukum Islam Indonesia Modern,
(Tanggerang, Gaya Media Pratama, 2009), hal. 21.
[2] Asaf A.A Fyzee, Out Lines of Muhammad Law, (Delhi: Oxford University Press, 1974),
hal. 32-37. Sebagaimana dikutip. Ibid.
[3] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 22.
Setiap orang berkewajiban untuk menjaga dan memelihara aqidah dari pengaruh paham atau aliran sesat .setiap orang juga di larang untuk menyebarkan paham atau aliran sesat,barang siapa yang menyebarkan suatu paham atau aliran sesat maka akan dihukum dengan ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 2 tahun atau hukuman cambuk di depan umum paling anyak 12 kali.
Salah satunya ialah ibadah salat jum’at.setiap orang, instansi pemerintah, badan usaha, dan atau institusi masyarakat wajib menghentikan kegiatan yang dapat menghalangi/mengganggu oramg Islam melaksanakan salat jum’at.setiap orang wajib melaksanakan ibadah salat jum’at selama tidak ada uzur syar’i. Apabila ada yang melanggar ketentuan ini maka akan dihukum dengan hukuman ta’zir berupa hukuman penjara maksimal 6 bulan atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 3 kali.
Salah satu cara penyelenggaraan syi’ar Islam ialah dengan adanya peraturan wajib berbusana muslim. setiap orang Islam wajib berbusana Islami, pimpinan instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha dan atau institusi masyarkat wajib membudayakan busana Islami di langkungannya.barang siapa tidak berbusana yang Islami maka akan dipidna dengan hukuman ta’zir setelah melalui proses peringatan dan pembinaan oleh wilayatul hisbah.
1. Hudud
a Terhukum terluka akibat pencambukan
Lima Qanun yang berhubungan langsung dengan pelaksanaan syariat islam di Aceh. Yaitu.
1. PERDA No. 5 tahun 2000.[2] Peraturan tersebut masih disebut sebagai PERDA, seperti di provinsi lainnya, sebelum kemudian disebut sebagai Qanun semenjak UU otonomi khusus disahkan pada tahun 2001.[3]
Eksistensi Syariat Islam di Aceh dikarenakan dalam sejarahnya yang cukup panjang, masyarakat Aceh telah menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya. Islam telah menjadi bagian dari kehidupan mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Masyarakat Aceh amat tunduk dan taat kepada ajaran Islam serta memperhatikan fatwa ulama karena ulamalah yang menjadi ahli waris Nabi. Penghayatan terhadap ajaran Islam kemudian melahirkan budaya Aceh.
yang tercermin dalam kehidupan adat. Adat tersebut lahir dari renungan para ulama, kemudian dipraktekkan, dikembangkan, dan dilestarikan dalam kehidupan masyarakat (hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat), yang kemudian diakumulasikan lalu disimpulkan menjadi “Adat bak Poteumourehom, Hukom bak Syiah Kuala Qanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana”, yang artinya “Hukum adat di tangan pemerintah dan hukum syariat ada di tangan ulama”. Ungkapan ini merupakan pencerminan dari perwujudan Syariat Islam dalam praktek hidup sehari-hari bagi masyarakat Aceh. Kemudian Aceh dikenal sebagai Serambih Mekkah karena dari wilayah paling barat inilah, kaum muslimin dari wilayah lain di Nusantara berangkat ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Untuk itu, maka perlu dibentuknya suatu dinas yang bertugas melaksanakan penyelenggaraan Syariat Islam dalam suatu susunan organisasi dan tata kerja Dinas Syariat Islam.
syariat Islam bukanlah hal baru, karena sejatinya masyarakat Aceh telah menerapkan syariat Islam sejak Islam pertama sekali masuk dan berkembang di Aceh. Syariat Islam sudah diterapkan sejak Aceh masih dalam bentuk kerajaan. Dalam penerapannya Ulama merupakan ujung tombak pelaksanaan hukum tanpa harus meminta persetujuan dari penguasa.. Masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi ajaran agama Islam, teguh dalam aqidah dan taat menjalankan Syariat Islam. Penerapan Syariat Islam tersebut berlandaskan pada hukum Al-Qur’an dan Hadist yang telah mengatur segala aspek dari hal-hal yang telah diwajibkan dan dilarang Allah SWT. seperti kewajiban dalam aspek beribadah, beraqidah, berakhlaktul-karimah, membela Islam jika terdapat individu atau sekelompok individu melecehkan agama Islam. Adapun larangannya seperti berzina, berjudi, membunuh, minum-minuman keras, mencuri, yang bagi pelanggarnya mendapatkan hukuman sesuai dengan perbuatannya atau di denda seperti hukuman rajam bagi pelaku zina dan denda dengan membayar diyat oleh pelaku pembunuhan.
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) sebagai lembaga independen yang bertugas memberikan masukan dan kritikan terhadap jalannya hukum syariat, dan polisi wilayatul hisbah yang bertugas mensosialisasikan qanun, menangkap pelanggar qanun serta menghukum pelaku yang melanggar syariat.
Untuk mempercepat pelaksanaan syariat Islam Prof.Dr.Al-yasa Abu Bakar,M.A sebagai kepala dinas Syariat Islam pertama bersama Kabag Litbang dan program Dinas Syariat Islam yaitu Drs.M.Saleh Suhaidi (Alm) membuat program Lima sasaran utama pelaksanaan syariat islam di Aceh. Lima Pilar Pelaksanaan Syariat Islam adalah :
Implementasi beberapa qanun yang telah ditetapkan mengarah pada perubahan di nyatakan secara tertulis atau tidak tertulis di antaranya yaitu :
Wilayatul Hisbah (WH) berwenang mengawasi pelaksanaan qanun-qanun Syariat Islam, Satpol PP berwenang mengawasi perda atau qanun non Syariat.
Berlakunya syariat islam di Aceh di tandai dengan perubahan nama Peradilan Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah. Perubahan nama itu turut memperluas kewenangannya,yang selama ini hanya berhubungan dengan pelaksanaan hukum keluarga tetapi sekarang menjadi lebih luas dengan cakupan hukum jinayah dan juga mu’amalah. Dalam tatanan hukum di Indonesia perubahan ini sangat luar biasa karena perubahannya berkaitan dengan perluasan kewenangan mahkamah syar’iyah,berarti membatasi kewenangan Pengadilan Negeri.
Pembentukan Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah untuk meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas operasional Pemerintah Daerah di bidang Pelaksanaan Syariat Islam sebagai tindak lanjut pelaksanaan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999.
Di antara program-program yang telah dilaksanakan Dinas Syariat Islam adalah : pengiriman da’i ( pendakwah ) ke daerah perbatasan dan terpencil, pembinaan Wilayatul Hisbah ( WH ) sebagai pengawas syariat, bantuan sarana peribadatan dan sarana peradilan ( Mahkamah Syar’iyah ). Khusus untuk lembaga Wilayatul Hisbah sejak tahun 2008 tidak lagi di bawah pembinaan Dinas Syari’at Islam, tetapi telah bernaung di bawah suatu Satuan Kerja Perangkat Daerah ( SKPD ) tersendiri yakni Badan Satuan Polisi pamong Praja dan Wilayatul Hisbah.
Eksistensi dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah dikuatkan dengan Keputusan Badan Pekerja Dewan Perwakilan Rakyat Aceh No. 35 tanggal 03 Desember 1947. Setelah itu Mahkamah Syar’iyah di Aceh berjalan dengan baik hingga dikuatkan pula dengan Peraturan Pemerintah No.29 tahun 1957 setelah melalui Perjuangan panjang masyarakat Aceh terutama para ulama dan tokoh masyarakat.
Mahkamah Syar’iyyah merupakan salah satu pengadilan khusus yang berdasarkan Syariat Islam di Provinsi Aceh sebagai pengembangan dari peradilan agama. Kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyyah selalu berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam bidang ibadah dan Syariat islam yang ditetapkan dalam Qanun.
2. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah
Adapun tugas dan wewenang Mahkamah Syar’iyah antara lain ialah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara – perkara pada tingkat pertama tertera pada pasal 49 Qanun No. 10 Tahun 2002,dalam bidang ahwal al – syakhsiyah, mu’amalah, dan jinayah. Selain itu Mahkamah Syar’iyah juga bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara yang menjadi kewenangannya dalam tingkat banding juga tertera pada Pasal 50 ayat (1) : mengadili dalam tingkat pertama dan terahir sengketa kewenangan antar Mahkamah Syar’iyah di Aceh.[1]
Adapun Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 2003 mengenai kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyyah terdapat pada Pasal 3, yaitu :
Sebagaimana diatur dalam Qanun Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat. Tindak pidana dimaksud, meliputi tidak membayar zakat setelah jatuh tempo, membuat surat palsu atau memalsukan surat baitul mal, serta menyelewengkan pengelolaan zakat.
Mahkamah Syar’iyyah tidak memulai dari yang baru tetapi menyempurnakan apa yang sudah ada selama ini (baik tentang materi hukum maupun hukum acaranya).[3]
Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, MPU bersifat pasif dalam memberikan pertimbangan, usulan kepada pemerintah daerah dan DPRD. Selama ini MPU memberi fatwa tapi pelaksanaanya tidak berjalan secara efektif. Hal ini karena MPU tidak cukup mempunyai aparat yang dapat mengamati seluruh kebijaksanaan Kepala Daerah yang telah dilaksanakan sejalan dengan pertimbangan yang telah diberikan.
Hal penting adalah fungsi atau tugas MPU telah dilaksanakan walaupun tidak seluruhnya diterima oleh Kepala Daerah. Diterima atau tidaknya pertimbangan-pertimbangan MPU menjadi tanggungjawab moral Kepala Daerah untuk diperhatika. Secara normatif pertimbangan-pertimbangan MPU yang disampaikan kepala daerah tidak terikat, namun sangat dipengaruhi atas kesadaran kepala daerah, sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang bertanggunggunjawab, sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang layak, dan kualitas pertimbangan yang disampaikan oleh MPU yang menyebabkan kepala deaerah tidak ada pilihan lain untuk tidak menerimanya.
a. Tugas MPU ditingkat Propinsi
b. kewenangan MPU ditingkat Kabupaten/Kota
Lembaga Baitul Mal di Propinsi Aceh adalah lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah berdasarkan amanat perundang-undangan, Keberadaan Baitul Mal di Aceh sendiri tidak terlepas dari perkembangan pengelolaan Zakat yang telah ada semenjak abad ke 7 Masehi, yaitu sejak agama Islam masuk ke Aceh, namun pada masa itu keberadaan Baitul Mal belum terlembaga dan hanya terbatas pengelolaan zakat secara tradisonal yang berbentuk pemungutan dan penyaluran zakat oleh Ulama atau lembaga Pengajian.
Pada perkembangan selanjutnya penegasan tentang zakat sebagai sumber pendapatan Asli daerah terdapat juga di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang menggantikan Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Penegasan tersebut terdapat di dalam 3 pasal,yaitu, Pasal 180 ayat (1) Pasal 191 dan Pasal 192.
Kemudian dalam adat bercocok tanam, adanya silaturahim antara masyarakat dengan Keujruen Blang dan Petua Seuneubôk yang mengurus adat bercocok tanam. Dalam syariat Islam mengharuskan adanya silaturahin agar terciptanya umat yang berbahagia.
Adat tron u laot, upacara dengan tujuan bersyukur kepada Allah SWT. Dalam syariat Islam kita diwajibkan untuk selalu bersyukur atas apa yang telah Allah berikan kepada kita hamba-Nya. Adat turun kesawah, Hal ini seperti hanjeut teumeubang watèe padé mirah. Maksudnya adalah tidak boleh memotong kayu saat padi hendak dipanen. Kalau ini dilanggar, dipercaya akan mendatangkan hama wereng (geusong).
BAB IV
POKOK PEMBAHASAN DAN
JINAYAT
A. POKOK – POKOK PEMBAHASAN SYARIAT ISLAM
Syariat Islam adalah tuntunan ajaran
Islam dalam semua aspek kehidupan. Pelaksanaan syariat Islam diatur dalam peraturan
Daerah Istimewa Aceh tahun 2000 tentang pelaksanaan syariat islam (Dinas
syariat islam 2009: 257). Adapun aspek-aspek pelaksanaan syariat islam adalah
seperti terdapat dalam perda Daerah Istimewa Aceh nomor 5 tahun 2000 tentang
pelaksanaan Syariat Islam. Bab IV pasal 5 ayat 2, yaitu: aqidah, ibadah, muamalah, akhlak, pendidikan dan dakwah islamiyah/amar
makruf nahi mungkar, baitul mal, kemasyarakatan syiar islam, pembelaan islam,
Qadha,jinayah, munakahat, dan mawaris
Pengertian pokok-pokok syariat Islam tersebut di atas adalah sebagai berikut :
1. Aqidah adalah aqidah ahlussunah wal
jamaah berdasarkan Alquran dan Hadis yang menjadi keyakinan keagamaan yang
dianut oleh seseorang dan menjadi landasan segala bentuk aktifitas, sikap,
pandangan, dan pegangan hidupnya.
Setiap orang berkewajiban untuk menjaga dan memelihara aqidah dari pengaruh paham atau aliran sesat .setiap orang juga di larang untuk menyebarkan paham atau aliran sesat,barang siapa yang menyebarkan suatu paham atau aliran sesat maka akan dihukum dengan ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 2 tahun atau hukuman cambuk di depan umum paling anyak 12 kali.
2. Ibadah adalah perendahan diri kepada
Allah yang dilandasi rasa cinta dan pengagungan dengan cara melaksanakan
perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya sebagaimana yang
dituntun dalam syariatNya.
Salah satunya ialah ibadah salat jum’at.setiap orang, instansi pemerintah, badan usaha, dan atau institusi masyarakat wajib menghentikan kegiatan yang dapat menghalangi/mengganggu oramg Islam melaksanakan salat jum’at.setiap orang wajib melaksanakan ibadah salat jum’at selama tidak ada uzur syar’i. Apabila ada yang melanggar ketentuan ini maka akan dihukum dengan hukuman ta’zir berupa hukuman penjara maksimal 6 bulan atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 3 kali.
3. Muamalah adalah ketentuan hukum tentang
kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam masalah jual
beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, transaksi (ijab qabul), perserikatan dan
segala jenis usaha perekonomian.
4. Baitul Mal Aceh adalah Lembaga Daerah
Non Struktural yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat independen sesuai
dengan ketentuan syariat, dan bertanggung jawab kepada Gubernur.
5. Munakahat adalah akad yang menghalalkan
hubungan laki-laki dan perempuan dalam ikatan suami istri.
6. Mawaris adalah ketentuan tentang
pembagian harta pusaka, orang yang berhak menerima waris serta jumlahnya.
7. Syi'ar Islam adalah semua kegiatan yang
mengandung nilai-nilai ibadah untuk menyemarakkan dan mengagungkan pelaksanaan
ajaran Islam.
Salah satu cara penyelenggaraan syi’ar Islam ialah dengan adanya peraturan wajib berbusana muslim. setiap orang Islam wajib berbusana Islami, pimpinan instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha dan atau institusi masyarkat wajib membudayakan busana Islami di langkungannya.barang siapa tidak berbusana yang Islami maka akan dipidna dengan hukuman ta’zir setelah melalui proses peringatan dan pembinaan oleh wilayatul hisbah.
8. Akhlak adalah prilaku dan tata pergaulan
hidup sehari- hari umat muslim yang menetap kuat dalam jiwa seseorang dan
merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya secara
mudah dan ringan tanpa perlu dipikirkan atau direncanakan sebelumnya.
9. Tarbiyah (pendidikan) adalah sistem
pendidikan yang berdasarkan nilai-nilai syariat Islam untuk membentuk
kepribadian muslim yang shalih dan mushlih.
10. Dakwah islamiyah adalah semua kegiatan
yang mengajak orang lain untuk berbuat kepada kebaikan dan melarang berbuat
kejahatan atau amar ma'ruf nahi mungkar.
B. Jinayat
Secara teoritis, jinayat atau hukum pidana
Islam didefinisikan sebagai hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang yang lazimnya
disebut dengan jarimah atau tindak pidana
dan ancaman hukumannya(uqubah). Uqubah adalah pembalasan yang ditetapkan untuk
kemaslahatan masyarakat karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan
syara’.dalam hukum pidana Islam dikenal tiga macam ketentuan pidana yaitu hudud, qishash/diyat, dan ta’zir.
1. Hudud
Hudud atau alhudud adalah bentuk jamak
dari kata hadd yang berarti batas, rintangan, halangan dan pagar. Dalam
Al-qur’an, hudud sering kali diartikan sebagai hukum atau ketetapan Allah
SWT. Dalam ilmu fiqh, hudud atau hadd
ialah hukuman atas perbuatan pidana tertentu(jarimah hudud) yang jenis dan bentuk hukumannya telah
ditentukan syar’i .yang termasuk ke dalam hudud adalah sebagai berikut :
a. Zina ,adalah hubungan seksual antara
seorang laki-laki dengan perempuan diluar akad nikah. hukuman bagi pezina
ghairu muhsan ialah dicambuk seratus kali.
b. Qadhaf ,adalah tuduhan berzina terhadap
seseorang tanpa menghadirkan saksi yang memenuhi syarat. Hukuman bagi penuduh
zina ini aalah didera delapan puluh kali.
c. Pencurian (sariqa), seseorang yang secara
sengaja diam-diam mencuri harta orang lain . si pencuri dikenakan had
potong tangan.
d. Perampokan(qat’ul al thariq), merupakan
suatu perbuatan yang sangat di benci dalam Islam karena dapat merusak keamanan
masyarakat. Pemberontakan(al-bughyi), suatu perbuatan yang berusaha untuk
menghancurkan negara islam dan imamnya yang adil dengan tujuan menjadikan
negara tersebut sebagai negara kafir.orang-orang atau kelompok yang melakukan
pemberontakan tersebut disebut dengan
bughat.
e. Al riddah atau murtad,berarti keluar
dari agama Islam . hukumannya tidak disebutkan secara jelas.
f. Minum
khamar(syurb),merupakan salah satu kesalahan jinayah dalam Islam .hukumannya
biasanya ialah disebat dengan tali atau di cambuk.
2. Qishash
Qishash merupakan suatu ketentuan Allah yang
berkenaan dengan pembunuhan sengaja dimana pelakunya dikenakan hukuman
mati.akan tetapi keluarga si korban dapat menurunkan hukuman mati menjadi
hukuman denda atau diyat.diyat ialah
denda yang harus di bayarkan oleh seseorang dikarenakan telah melakukan
pembunuhan, jumhur ulama sepakat bahwa jumlah diyat yang harus dibayarkan
kepada keluarga terbunuh ialah 100 ekor unta. qisash/diyat, meliputi : pembunuhan dan penganiayaan.
3. Ta’zir yaitu hukuman yang dijatuhkan
kepada orang yang melakukan pelanggaran syariat selain hudud dan
qishash/diyat.ta’zir adalah perbuatan pidana yang jenis dan hukumannya tidak
ditentukan lebih dahulu dalam nash. Seperti: maisir (perjudian), penipuan,
pemalsuan, khalwat(mesum),dan meniggalkan salat fardhu dan puasa Ramadhan.
a. Maisir atau perjudian, Pada tanggal 15
juli 2003,Gubernur provinsi NAD mengesahkan qanun provinsi nomor 13 tentang
maisir dengan persetujuan DPRD Provinsi NAD . khasus pertama yang sampai ke
pengadilan terjadi di Aceh Tenggara , di ajukan ke mahkamah syariah Kutacane
serta diputuskan tanggal 19 Januari dengan putusan nomor:01/JN.S/2005/MSY-KC.
b. Khalwat/mesum, adalah perbuatan yang
dilakukan oleh dua orang yang berlawanan jenis atau lebih, tanpa ikatan nikah
atau bukan muhrim pada tempat tertentu yantg sepi yang memungkinkan terjadinya
perbuatan maksiat di bidang seksual atau yang berpeluang pada terjadinya
perbuatan perzinaan .
C. Petunjuk Pelaksanaan Uqubat Cambuk
Pelaksanaan uqubat cambuk dilakukan dengan semena-mena,
akan tetapi ada cara-cara tertentu yang harus dilakukan sesuai dengan
aturan-aturan yang telah ditentukan. Diantaranya adalah :
·
Uqubat
cambuk dilakukan di suatu tempat terbuka yang dapat disaksikan oleh banyak
orang
·
Pencambukan
dilakukan pada bagian punggung(bahu sampai pinggul) terhukum
·
Sebelum
pelaksanaan pencambukan terhukum diperiksa kesehatannya terlebih dahulu
· Apabila
kondisi kesehatan terhukum menurut hasil pemeriksaan dokter tidak dapat
menjalani uqubat cambuk, maka pelqksanaan pencambukan ditunda sampai yang
bersangkutan donyatakan sehat untuk menjalani uqubat cambuk.
· Cambuk
dilakukan oleh seorang pencambuk dengan memakai penutup wajah yang terbuat dari
kain
· Pada
saat pencambukan,terhukum mengenakan pakaian tipis yang menutup aurat yang
telah disedikan
· Posisi
terhukum pada saat pencambukan dalam kondisi berdiri bagi laki-laki dan posisi
duduk bagi perempuan
Pencambukan akan
dihentikan, apabila:
a Terhukum terluka akibat pencambukan
b. Diperintahkan oleh Dokter yang bertugas
berdasarkan pertimbangan medis
c. Terhukum melarikan diri dari tempat
pencambukan sebelum hukuman cambuk selesai dilaksanakan.
BAB V
QANUN, EKSITENSI
DAN ESENSI SYARIAT ISLAM DI ACEH
A. DEFINISI QANUN
Kata
Qanun berasal dari bahasa Arab yang berarti Undang-Undang. Qanun dapat juga
bermakna kumpulan materi hukum yang tersusun secara sistematis dalam suatu
lembaga yang dikenal dengan Undang-Undang. Jadi, Qanun adalah hukum materil
yang menghimpun ketentuan-ketentuan pidana.
Qanun
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksana
undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam penyelenggaraan
otonomi kuhus (pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001). Dari
pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa isi muatan Qanun hanya mengatur
ketentuan-ketentuan yang bersifat delegasi suatu Undang-undang dalam rangka
pelaksanaan otonomi khusus. Dengan kata lain, Qanun hanya dapat mengatur atas
dasar pendelegasian suatu ketentuan undang-undang dalam penyelenggaraan otonomi
khusus.[1]
B.
QANUN
SYARIAT ISLAM DI ACEH
Lima Qanun yang berhubungan langsung dengan pelaksanaan syariat islam di Aceh. Yaitu.
1. PERDA No. 5 tahun 2000.[2] Peraturan tersebut masih disebut sebagai PERDA, seperti di provinsi lainnya, sebelum kemudian disebut sebagai Qanun semenjak UU otonomi khusus disahkan pada tahun 2001.[3]
PERDA tersebut menyebutkan bahwa
seluruh elemen pelaksanaan syariat islam akan dilaksanakan termasuk didalamnya
hal-hal yang berhuungan dengan aqidah, ibadah, mua’amalah, akhlak, pembelaan
islam, qadha, pendidikan, masalah perdata dan pidana, dan perayaan hari besar
islam, pendidikan dan dakwah, dan baitulmal. Peraturan tersebut juga
menyiapkan/mengatur sebuah lembaga pengawas pelaksanaan syariat islam di
masyarakat, yang kemudian disebut dengan Wilayatul Hisbah (WH).
2. Qanun yang kedua
berhubungan langsung dengan pelaksanaan syariat islam adalah qanun No. 10 tahun
2002 tentang pembentukan makahma syar’iyah yang kewenangannya tidak
hanya sebatas permasalahan keluarga dan perwarisan. Kewenangan lebih luas yang
diberikan ke sistem pengadilan yang baru di Indonesia ini adalah kewenangan
terhadap kriminal (jinayah).
Hukum
jinayah tersebut di bagi ke dalam 3 kategori, yaitu :
1) Hudud,
yaitu yang mengatur permasalahan zina, pemerkosaan dan kejahatn lainnya yang
disebutkan dalam al-quran seperti mencuri, minum-minumn barakohol, murtad, dan
pemberontakan.
2) Qishas dan Diyat,
yaitu yang mencakup kejahatan pembunuhan dan pemukulan dimana pelaku di hukum
dengan cara yang sama, pembunuh akan dibunuh atau pelaku pemukulan dihukum
dengan pukulan atau denagn memberikan kompensasi setelah pelaku dimaafkan oleh
sepupu atau saudara korban.
3) Ta’zir.
Yaitu yang mencakup perjudian, penipuan, pemalsuan dokumeen, hubungan yang
tidak sah, tidak melakukan puasa di bulan ramadhan, dan shalat jum’at.
3. Qanun
yang ketiga adalah No. 11 tahun 20026
tentang pelaksanaan syariat islam dalam bidang aqidah, ibadah, dan penerapan
simbo-simbol islam.
4. Qanun
keempat yang mengatur langsung pelaksanaan syariat islam adalah qanun No. 12
tahun 2003 tentang khamar. yang
melarang semua jenis minuman yang dapat mengganggu kesehatan, kesadaran, dan
pikiran.
5. Qanun
kelima adalah qanun No. 7 tahun 2004 tentang manajemen zakat.
Qanun
tersebut memberikan mandate pembentukan baitul mal, yang diatur untuk dapat
menerima/menyimpan denda dari para pelanggar syariat Islam.
C.
EKSITENSI
SYARIAT ISLAM DI ACEH
Eksistensi Syariat Islam di Aceh dikarenakan dalam sejarahnya yang cukup panjang, masyarakat Aceh telah menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya. Islam telah menjadi bagian dari kehidupan mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Masyarakat Aceh amat tunduk dan taat kepada ajaran Islam serta memperhatikan fatwa ulama karena ulamalah yang menjadi ahli waris Nabi. Penghayatan terhadap ajaran Islam kemudian melahirkan budaya Aceh.
yang tercermin dalam kehidupan adat. Adat tersebut lahir dari renungan para ulama, kemudian dipraktekkan, dikembangkan, dan dilestarikan dalam kehidupan masyarakat (hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat), yang kemudian diakumulasikan lalu disimpulkan menjadi “Adat bak Poteumourehom, Hukom bak Syiah Kuala Qanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana”, yang artinya “Hukum adat di tangan pemerintah dan hukum syariat ada di tangan ulama”. Ungkapan ini merupakan pencerminan dari perwujudan Syariat Islam dalam praktek hidup sehari-hari bagi masyarakat Aceh. Kemudian Aceh dikenal sebagai Serambih Mekkah karena dari wilayah paling barat inilah, kaum muslimin dari wilayah lain di Nusantara berangkat ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Untuk itu, maka perlu dibentuknya suatu dinas yang bertugas melaksanakan penyelenggaraan Syariat Islam dalam suatu susunan organisasi dan tata kerja Dinas Syariat Islam.
D.
ESENSI
SYARIAT ISLAM DI ACEH
syariat Islam bukanlah hal baru, karena sejatinya masyarakat Aceh telah menerapkan syariat Islam sejak Islam pertama sekali masuk dan berkembang di Aceh. Syariat Islam sudah diterapkan sejak Aceh masih dalam bentuk kerajaan. Dalam penerapannya Ulama merupakan ujung tombak pelaksanaan hukum tanpa harus meminta persetujuan dari penguasa.. Masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi ajaran agama Islam, teguh dalam aqidah dan taat menjalankan Syariat Islam. Penerapan Syariat Islam tersebut berlandaskan pada hukum Al-Qur’an dan Hadist yang telah mengatur segala aspek dari hal-hal yang telah diwajibkan dan dilarang Allah SWT. seperti kewajiban dalam aspek beribadah, beraqidah, berakhlaktul-karimah, membela Islam jika terdapat individu atau sekelompok individu melecehkan agama Islam. Adapun larangannya seperti berzina, berjudi, membunuh, minum-minuman keras, mencuri, yang bagi pelanggarnya mendapatkan hukuman sesuai dengan perbuatannya atau di denda seperti hukuman rajam bagi pelaku zina dan denda dengan membayar diyat oleh pelaku pembunuhan.
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) sebagai lembaga independen yang bertugas memberikan masukan dan kritikan terhadap jalannya hukum syariat, dan polisi wilayatul hisbah yang bertugas mensosialisasikan qanun, menangkap pelanggar qanun serta menghukum pelaku yang melanggar syariat.
[2] Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh No. 5
Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam. Lembaran Daerah Provinsi Daerah
Istimewa Aceh No : 30 Tanggal 25 Agustus 2000.
BAB VI
PELAKSANAAN SYARIAT ISLA DI ACEH
A. PILAR PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM
Untuk mempercepat pelaksanaan syariat Islam Prof.Dr.Al-yasa Abu Bakar,M.A sebagai kepala dinas Syariat Islam pertama bersama Kabag Litbang dan program Dinas Syariat Islam yaitu Drs.M.Saleh Suhaidi (Alm) membuat program Lima sasaran utama pelaksanaan syariat islam di Aceh. Lima Pilar Pelaksanaan Syariat Islam adalah :
1.
MenghidupkanMeunasah
2.
Pemberdayaan Zakat
3.
Lingkungan Kantor danSekolah yang Islami
4.
PengawasanPelaksanaanSyariat Islam, dan
5.
PerluasanKewenanganMahkamahSyar’iyah
1. Menghidupkan meunasah
Dalam kehidupan masyarakat Aceh, sebagai
salah satu landasan pilar budaya,terdapat satu lembaga yang di namakan dengan
meunasah,sebagai simbol masyarakat Aceh. pada setiap kampung atau lingkungan yang berdekatan senantiasa
dijumpai uatu bangunan meunasah yang bentuknya sama dengan rumah kediaman
biasa. Namun tanpa dilengkapi dengan jendela,lorong,atau sekatan-sekatan.
Bentuk dan kondisi meunasah semacam itu pada kurun sekarang ini mungkin sudah
sedikit dan kondisi sudah jauh berbeda mengikuti arus kemajuan zaman.
2. Pemberdayaan zakat
Wujud dari
pemberdayaan zakat adalah terbentuknya Baitul mal pada tingkat Kampung,Kabupaten/Kota
dan Provinsi. Sumber zakat pada tingkat kampung di fokuskan pada hasil
pertanian kampung dan usaha-usaha pada tingkat kampung, sedang sumber zakat
Baitul mal Kabupaten adalah dari hasil perdagangan dan usaha pada tingkat
Kabupaten/Kota. Dan untuk sumber zakat Baitul mal Provinsi adalah dari
perusahaan yang bergerak pada level
provinsi.
3. Lingkungan kantor dan sekolah yang islami
semenjak adanya program ini setiap kantor
atau sekolah sudah memiliki tempat shalat zuhur berjamaah. Program yang
berhubungan dengan kantor dan sekolah ini, termasuk pada kewajiban memakai
pakaian islami. Sehingga dikatakan dalam qanun : setiap kepala kantor atau
pemimpin bertanggung jawab terhadap pakaian yang di gunakan pegawainya.
Demikian juga halnya dengan sekolah, setiap orang yang terlibat dalam proses
belajar mengajar berkewajiban memakai pakaian islami,mungkin juga bisa kita
katakan bahwa adanya ‘’ kantin kejujuran’’ pada saat ini sekolah-sekolah adalah
dalam rangka menciptakan sekolah yang islami.
Implementasi beberapa qanun yang telah ditetapkan mengarah pada perubahan di nyatakan secara tertulis atau tidak tertulis di antaranya yaitu :
a.
Budaya Shalat Berjamaah
b.
Budaya berpakaian islami
c.
Budaya menggalakkan syari’at islam
d.
Budaya baca doa dan surat-surat pendek
e.
Budaya shalat sunat khusuf dan kusuf
f.
Budayashalat sunah istisqa’
g.
Budaya shalat sunah tasbih
h.
Budaya sujud syukur dan sujud tilawah (sujud
sajadah)
i.
Budaya salam dan berjabat tangan
j.
Budaya libur sekolah
4.
Pengawasan
pelaksanaan syariat islam
Di
bentuknya lembaga Wilayatul Hisbah (WH) yang berfungsi untuk mensosialisasikan
dan mengawasi pelaksanaan syariat islam. Pada awalnya lembaga ini berada di
bawah Dinas Syariat Islam,tetapi sejak lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang
pemerintahan Aceh Wilayatul Hisbah bergabung dengan lembaga Satpol PP,kedua
lembaga yang sekarang sudah bergabung menjadi satu dan mempunyai kewenangan
yang berbeda.
Wilayatul Hisbah (WH) berwenang mengawasi pelaksanaan qanun-qanun Syariat Islam, Satpol PP berwenang mengawasi perda atau qanun non Syariat.
5.
Kewenangan Mahkamah
Syar’iyah
Berlakunya syariat islam di Aceh di tandai dengan perubahan nama Peradilan Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah. Perubahan nama itu turut memperluas kewenangannya,yang selama ini hanya berhubungan dengan pelaksanaan hukum keluarga tetapi sekarang menjadi lebih luas dengan cakupan hukum jinayah dan juga mu’amalah. Dalam tatanan hukum di Indonesia perubahan ini sangat luar biasa karena perubahannya berkaitan dengan perluasan kewenangan mahkamah syar’iyah,berarti membatasi kewenangan Pengadilan Negeri.
B. Fungsi pilar
pelaksanaan syari’at islam di Aceh
v Sebagai
pedoman dan petunjuk bagi manusia di dalam mengatur diri dan masyarakat
v Alat
penyeimbang antara unsur yang baik dan yang tidak baik yang terdapat dalam diri
manusia.
v Alat
mendidik manusia menjadi suci lahir bathin.sayriat turun menuntun dan
membimbing manusia untuk membersihkan diri agar ia mampu membaca arti sebuah
kehidupan. Karena itulah,kebahagiaan abadi hanya dapat di gapai oleh manusia
yang bersih.
BAB VII
A. KEDUDUKAN,
TUGAS DAN WEWENANG DINAS SYARIAT ISLAM DALAM PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DI ACEH
Pembentukan Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah untuk meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas operasional Pemerintah Daerah di bidang Pelaksanaan Syariat Islam sebagai tindak lanjut pelaksanaan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999.
Dinas
Syariat Islam adalah unsur pelaksanaan Syariat Islam di lingkungan Pemerintah
Daerah yang berada di bawah Gubernur dan bertanggung jawab kepada Gubernur
melalui Sekretaris Daerah.
Tugas
dari Dinas Syariat Islam di provinsi Aceh di atur dalam Peraturan Daerah
Provinsi Aceh Nomor 33 tahun 2001 pada Pasal 3.Dinas Syariat Islam mempunyai
tugas melaksanakan tugas umum dan khusus Pemerintah Daerah dan pembangunan
serta bertanggung jawab di bidang pelaksanaan Syariat islam.
Untuk
melaksanakan tugas tersebut di atas, Dinas Syariat Islam menjalankan lima
fungsi, yakni :
1. Perencanaan
dan penyiapan qanun yan berhubungan dengan Syariat Islam;
2. Penyiapan
dan pembinaan sumber daya manusia yang berhubungan dengan pelaksanaan syariat Islam;
3. Pelaksanaan
tugas yang berhubungan dengan kelancaran dan ketertiban pelaksanaan peribadatan dan penataan sarananya serta penyemarakan syiar Islam;
4. Bimbingan
dan pengawasan terhadap pelaksanaan Syariat Islam;
5. Bimbingan
dan penyuluhan Syariat Islam.
Sedangkan
kewenangan Dinas Syariat Islam diterangkan pada Pasal 5, yaitu:
a. Merencanakan
Program, Penelitian dan Pengembangan unsur – unsur syariat Islam
b. Melestarikan
Nilai – nilai Islam
c. Mengembangkan
dan membimbing pelaksanaan islam yang meliputi bidang – bidang aqidah, ibadah,
muamalat, akhlak, pendidikan dan dakwah islamiyah, ammar makruf nahi mungkar,
baitul mal, kemasyarakatan, syiar Islam, pembelaan Islam, Qadha, jinayat,
munakahat, dan mawans
d. Mengawasi
terhadapa pelaksanaan syariat Islam
e. Membina
dan mengawas terhadap Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ)
Di antara program-program yang telah dilaksanakan Dinas Syariat Islam adalah : pengiriman da’i ( pendakwah ) ke daerah perbatasan dan terpencil, pembinaan Wilayatul Hisbah ( WH ) sebagai pengawas syariat, bantuan sarana peribadatan dan sarana peradilan ( Mahkamah Syar’iyah ). Khusus untuk lembaga Wilayatul Hisbah sejak tahun 2008 tidak lagi di bawah pembinaan Dinas Syari’at Islam, tetapi telah bernaung di bawah suatu Satuan Kerja Perangkat Daerah ( SKPD ) tersendiri yakni Badan Satuan Polisi pamong Praja dan Wilayatul Hisbah.
B. EKSISTENSI
DAN KEWENANGAN MAHKAMAH SYAR’IYYAH DALAM PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DI ACEH
1.Eksistensi Mahkamah Syar’iyah
Eksistensi dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah dikuatkan dengan Keputusan Badan Pekerja Dewan Perwakilan Rakyat Aceh No. 35 tanggal 03 Desember 1947. Setelah itu Mahkamah Syar’iyah di Aceh berjalan dengan baik hingga dikuatkan pula dengan Peraturan Pemerintah No.29 tahun 1957 setelah melalui Perjuangan panjang masyarakat Aceh terutama para ulama dan tokoh masyarakat.
Peradilan Syari’at Islam juga
dilakukan oleh suatu lembaga pengadilan yang disebut Mahkamah Syar’iyah. Hal
ini dengan tegas disebutkan oleh pasal 25 ayat (2) UU No.18/2001 pasal 128 ayat
(4) UU No. 11 tahun 2006 yang menentukan kewenangan Mahkamah Syar’iyah
didasarkan atas syariat Islam dalam hukum Nasional yang di atur lebih lanjut
dengan Qanun Provinsi Aceh.
Mahkamah Syar’iyyah merupakan salah satu pengadilan khusus yang berdasarkan Syariat Islam di Provinsi Aceh sebagai pengembangan dari peradilan agama. Kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyyah selalu berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam bidang ibadah dan Syariat islam yang ditetapkan dalam Qanun.
2. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah
Adapun tugas dan wewenang Mahkamah Syar’iyah antara lain ialah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara – perkara pada tingkat pertama tertera pada pasal 49 Qanun No. 10 Tahun 2002,dalam bidang ahwal al – syakhsiyah, mu’amalah, dan jinayah. Selain itu Mahkamah Syar’iyah juga bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara yang menjadi kewenangannya dalam tingkat banding juga tertera pada Pasal 50 ayat (1) : mengadili dalam tingkat pertama dan terahir sengketa kewenangan antar Mahkamah Syar’iyah di Aceh.[1]
Adapun Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 2003 mengenai kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyyah terdapat pada Pasal 3, yaitu :
1. Kekuasaan
dan Kewenangan Mahkamah Syar’iyyah dan Mahkamah Syar’iyyah provinsi adalah
kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Tinggi Agama, ditambah dengan kekuasaan dan
kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan
syiar islam yang ditetapkan dalam Qanun.
2. Kekuasaan
dan Kewenangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara
bertahap sesuai dengan kemampuan kompetensi dan ketersediaan sumber daya
manusia dalam kerangka sistem Peradilan Nasional.[2]
Mahkamah
Syar’iyah juga berwenang mengadili dan memutuskan perkaraperkara jarimah (tindak
pidana), seperti penyebaran aliran sesat (bidang aqidah), tidak shalat Jumat
tiga kali berturut-turut tanpa uzur syar'i (bidang ibadah), menyediakan
fasilitas/peluang kepada orang muslim tanpa uzur syar'i untuk tidak berpuasa
(bidang ibadah), makan minum di tempat umum di siang hari di bulan puasa
(bidang ibadah), dan tidak berbusana Islami (bidang syiar Islam). Mahkamah
Syar’iyah dipercayakan pula untuk mengadili perkara-perkara tindak pidana dalam
pengelolaan zakat.
Sebagaimana diatur dalam Qanun Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat. Tindak pidana dimaksud, meliputi tidak membayar zakat setelah jatuh tempo, membuat surat palsu atau memalsukan surat baitul mal, serta menyelewengkan pengelolaan zakat.
Mahkamah Syar’iyyah tidak memulai dari yang baru tetapi menyempurnakan apa yang sudah ada selama ini (baik tentang materi hukum maupun hukum acaranya).[3]
[1]
Rusjdi Ali Muhammad. Revitalisasi
Syari’at Islam di Aceh. Ciputat : Logos Wacana Ilmu. 2003. hlm XXXVI
[2]
Dinas Syariat Islam. Himpunan Undang –
Undang keputusan Presiden Peraturan Daerah / Qanun Intruksi Gubernur Edaran
Gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syariat Islam. Aceh.2008.hlm 40
[3] Safwan
Idris. Syariat di Wilayah Syariat. Aceh
: Yayasan Ulul Urham. 2002.hlm 21
BAB VIII
Fungsi,
Tugas, Kedudukan dan Kewenangan Majelis Permusyawaratan Ulama (Mpu) dan Baitul
Mal
A.
Fungsi MPU
Fungsi MPU
sebagai penasehat yang memberi saran, pertimbangan kepada pemerintahan daerah
(eksekutif dan legislatif) dan sebagai pengawas terhadap pelaksanaan kebijakan
daerah, baik bidang pemerintahan, pembangunan maupun pembinaan kemasyarakatan
serta tatanan hukum dan tatanan ekonomi yang islami.
Meskipun
secara yuridis MPU kedudukannya sebagai mitra sejajar pemerintah daerah dan
DPRD, tetapi dalam prakteknya belum berjalan secara maksimal, hanya sebatas
hubungan konsultatif. Sebagai badan konsultatif maka produk utama MPU adalah
berupa saran.
MPU
mempunyai kedudukan yang bebas dan tidak tergantung pada Kepala Daerah dan DPRD
atau kekuatan-kekuatan sosial dalam masyarakat.Dalam melaksanakan fungsinya
tersebut, MPU mempunyai hak dan kewajiban yaitu:
pertama,
MPU berhak mengajukan usul kepada pemerintahan daerah (Eksekutif dan
legislatif). Kedua, MPU berkewajiban memberi masukan, pertimbangan dalam
menentukan kebijakan daerah dari aspek syariat Islam secara kaffah serta
memberi jawaban atas pertanyaan kepala daerah.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, MPU bersifat pasif dalam memberikan pertimbangan, usulan kepada pemerintah daerah dan DPRD. Selama ini MPU memberi fatwa tapi pelaksanaanya tidak berjalan secara efektif. Hal ini karena MPU tidak cukup mempunyai aparat yang dapat mengamati seluruh kebijaksanaan Kepala Daerah yang telah dilaksanakan sejalan dengan pertimbangan yang telah diberikan.
Hal penting adalah fungsi atau tugas MPU telah dilaksanakan walaupun tidak seluruhnya diterima oleh Kepala Daerah. Diterima atau tidaknya pertimbangan-pertimbangan MPU menjadi tanggungjawab moral Kepala Daerah untuk diperhatika. Secara normatif pertimbangan-pertimbangan MPU yang disampaikan kepala daerah tidak terikat, namun sangat dipengaruhi atas kesadaran kepala daerah, sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang bertanggunggunjawab, sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang layak, dan kualitas pertimbangan yang disampaikan oleh MPU yang menyebabkan kepala deaerah tidak ada pilihan lain untuk tidak menerimanya.
B.
Tuagas MPU Ditingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota
a. Tugas MPU ditingkat Propinsi
1. Memberikan
masukan, pertimbangan, dan saran kepada Pemerintah Aceh dan DPRA dalam
menetapkan kebijakan berdasarkan syari’at Islam.
2.Melakukan
pengawasn terhadap penyelenggaraan pemerintahan, kebijakan daerah
berdasarkan syari’at Islam.
3. Melakukan
penelitian, pengembangan, penerjemahan, penerbitan, dan pendokumentasian
terhadap naskah-naskah yang berkenaan dengan syari’at Islam
4. Melakukan pengkaderan ulama.
b. Tugas MPU ditingkat
Kabupaten/kota
1. Memberi
masukan, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah Kabupaten/kota dan DPRK
dalam menetapkan kebijakan berdasarkan syari’at islam .
2. Melakukan
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan, kebijakan daerah berdasarkan syari’at islam.
3. Melakukan
pengkaderan ulama.
4. Melakukan
pemantauan dan kajian terhadap dugaan adanya penyimpangan kegiatan Keagamaan
yang meresahkan masyarakat serta melaporkannya kepada
MPU.
C.
Kedudukan MPU
Kedudukan
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) merupakan lembaga yang bersifat Independen
dan merupakan mitra kerja Pemerintahan Aceh. Secara legal formal keberadaan MPU
di Aceh merujuk pada Pasal 18 B Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
yaitu:
1).
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.
2).
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta
hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.
D.
Kewenangan MPU di Tingkat Propinsi dan Kabupaten/kota
a. kewenangan MPU di tingkat
Propinsi
1. Menetapkan
fatwa terhadap masalah pemerintahan, pembangunan,ekonomi, sosial
budaya dan kemasyarakatan.
2. Memberikan
arahan terhadap perbedaan pendapat dalam masalah keagamaan baik sesama
umat Islam maupun antar umat beragama lainnya.
3. Dalam
hal Badan Legislatif menjalankan fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan
kebijakan Daerah, menyangkut dengan Hukum Islam, wajib meminta dan
mempertimbangkan Fatwa dan pertimbangan Majelis Permusyawaratan Ulama
(MPU).Badan Legislatif dapat menerima Rancangan Qanun di bidang Syari?at Islam
yang diajukan MPU sebagai Rancangan Qanun hak inisiatif anggota DPRD. Dalam
rangka pembentukan Komisi independen Pemilihan dan Komisi Pengawas Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Badan Legislatif wajib meminta pertimbangan MPU.
b. kewenangan MPU ditingkat Kabupaten/Kota
1. Melaksanakan
dan mengamankan fatwa yang dikeluarkan oleh MPU.
2. Memberikan
pertimbangan dan masukan kepada pemerintahan Kabupaten/Kotayang
meliputi bidang pemerintahan, pembangunan, kemasyarakatan serta
tatanan ekonomi yang Islami.
E. Pengertian Baitul Mal
Secara
etimologis baitul mal terdiri dari dua kata, yaitu Bait, artinya rumah dan mal
yang berarti harta. Jadi kalau digabungkan kedua kata itu maka baitul mal dapat
berarti satu rumah yang di dalamnya berupa harta. Sedangkan menurut
terminologis, sebagaiman diajelaskan dalam Qanun nomor 7 tahun 2004 tentang
pengelolaan Zakat, yang disebutkan dalam pasal 1 ayat (1), bahwa Badan Baitul
Mal merupakan lembaga daerah yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat
dan harta agama lainnyadi provinsi NAD, dan juga dalam Bab I Ketentuan umum
oleh Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal adalah lembaga daerah
non struktural yang diberi kmewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat,
wakaf, harta agama dengan tujuan untuk kemaslahatan ummat serta menjadi
wali/wali pengawas terhadap anak yati piatu dan/atau hartanya serta mengelola
terhadap harta warisan yang tidak ada wali berdasarkan syari’at Islam.
F.
Kedudukan Dan Kewenangan Baitul Mal di Propinsi Aceh
Didalam
literatur fiqh Islam, Baitul Mal adalah suatu badan atau lembaga yang bertugas
mengurusi kekayaan negara, terutama keuangan, baik yang berkenaan dengan pemasukan
maupun pengelolaan, namun terhadap pembentukan lembaga Baitul Mal ini tidak
disebutkan secara tegas didalam Al-quran maupun Al-hadist, akan tetapi karena
manfaatnya dirasakan sangat besar maka Baitul Mal tetap dipertahankan didalam
pemerintahan Islam semenjak Umar bin Khattab. Namun bagaimana bentuk dan
tatacara pengelolaannya juga tidak ada pengaturan yang tegas didalam
sumber-sumber hukum Islam sama halnya seperti pembentukan lembaga Baitul Mal
itu sendiri. Hukum Islam dalam hal ini memberikan kebebasan kepada pemerintah
untuk membuat aturan-aturan yang dianggap sesuai dan memberi manfaat bagi
negara dan rakyat, dengan demikian maka bentuk dan sistem pengelolaan Baitul
Mal dapat saja berubah sesuai dengan perkembangan dan kebutuhannya disamping dapat
pula berbeda-beda antara negara satu dengan yang lainnya.
Lembaga Baitul Mal di Propinsi Aceh adalah lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah berdasarkan amanat perundang-undangan, Keberadaan Baitul Mal di Aceh sendiri tidak terlepas dari perkembangan pengelolaan Zakat yang telah ada semenjak abad ke 7 Masehi, yaitu sejak agama Islam masuk ke Aceh, namun pada masa itu keberadaan Baitul Mal belum terlembaga dan hanya terbatas pengelolaan zakat secara tradisonal yang berbentuk pemungutan dan penyaluran zakat oleh Ulama atau lembaga Pengajian.
Pada perkembangan selanjutnya penegasan tentang zakat sebagai sumber pendapatan Asli daerah terdapat juga di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang menggantikan Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Penegasan tersebut terdapat di dalam 3 pasal,yaitu, Pasal 180 ayat (1) Pasal 191 dan Pasal 192.
Khusus di propinsi Aceh, pengurusan dan pengelolaan
zakat ini merupakan kewenangan dari Baitul Mal, dasar hukumnya adalah qanun
nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal. sedangkan pajak dikenakan kepada
penduduk yang non muslim, untuk menghindari dari kewajiban pembayaran double duties (kewajiban rangkap) berupa zakat dan pajak.
G. Dasar Hukum
Adapun
yang menjadi dasar hukum Baitul Mal di Provinsi Aceh adalah sebagai berikut:
1. U.U. No.11/2006 tentang Pemerintahan
Aceh yang mengatur masalah Zakat dan Baitul Mal.
2. Qanun Aceh No. 10/2007 tentang Baitul Mal,
menetapkan Baitul Mal sebagai Lembaga Daerah
non struktural dan bersifat Independen.
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.
18/2008 tentang Pedoman Organisasi dan
Tata Kerja Lembaga Keistimewaan Provinsi NAD (termasuk Baitul Mal) menetapkan
Sekretariat Baitul Mal Aceh (BMA)
sebagai Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) dalam jabatan struktural (Eselon
II.b, III.b dan IV.a)
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri
No.37/2009 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Keistimewaan
Kabupaten/Kota Prov.Aceh menetapkan sekretariat Baitul Mal Kabupaten/Kota (BMK)
sebagai Satuan Kerja Perangkat Kabupaten/Kota SKPK dalam jabatan struktural
eselon III.a dan IV.a
5. Peraturan Gubernur NAD No.33/2008
tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Lembaga Keistimewaan
Aceh.
6. Keputusan MPU Aceh No.451.12/15/SK/2009
tanggal 5 Januari 2009 (Diperbaiki tanggal 29 April 2009) tentang
Pengangkatan/Penetapan Tim Pembina Baitul Mal Aceh. Dan masih banyak lagi.
H. Unit Pengumpul Zakat (UPZ)
Sesuai
Qanun Aceh nomor 10 tahun 2007 tentang baitul Mal, maka unit pengumpul zakat
yang selanjutnya disebut dengan UPZ adalah satuan organisasi yang dibentuk oleh
Baitul Mal Aceh dan Kabupaten/Kota
dengantugas mengumpulkan zakat para muzakki pada instansi
Pemerintah dan lingkungan swasta.
Di
sisni terlihat bahwa kewenangan UPZ hanya sebatas melakukan pengumpulan pada
unit-unit masing dan tidak dibeerikan kewenangan untuk melakukan pengembangan
dan pendistribusian kepada mustahik.
I.
Macam-macam Tingkatan
Baitul Mal
Adapun
tingkatan Baitul Mal yang berlaku di Aceh setelah Qanun nomor 10 tahun 2007
adalah:
1. Baitul Aceh, adalah lembaga daerah Non
Strutural yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat independen sesuai dengan
ketentuan syari’at, dan bertanggung jawab kepada Gubernur.
2. Baitul Mal Kabupaten/Kota, bertanggung
jawab kepada Bupati/Walikota.
3. Baitul Mal Mukim, bertanggung jawab
kepada Baitul Mal Kabupaten/Kota.
4. Baitul Mal Gampong, bertanggung jawab
kepada Baitul Mal Kabupaten/Kota.
Setiap tingkat Baitul Mal empunyai
struktur organisasi masing-massing, semakin tinggi tingkat organisasi Baitul
Mal semakin besar pula komponen struktur oranosasinya, sebagiama
disebutkan berikut:
a) Badan Pelaksana Baitul Mal Aceh adalah
terdiri dari: Kepala, Sekretaris, Bendahara, Bidang Pengawasan, Bidang
Pengumpulan, Bidang Pedistribusian dan Pendayagunaan Bidang Sosialisasi dan
Pengembangan dan Bidang Perwalian yang terdiri dari Sub Bidang dan Sub Bagian.
b) Badan Pelaksana Baitul Mal
Kabupaten/Kota adalah terdiri dari: Kepala, Sekretaris, Bendahara, Bagin
Pengumpulan, Bagian Pedistribusian dan Pendayagunaan Bagian Sosialisasi dan
Pembinaan dan Bagian Perwalian yang terdiri dari Sub Bagian dan Seksi.
c) Badan Pelaksana Baitul Kemukiman adalah
terdiri dari: Ketua yang karena jabatannya dilaksanakan oleh Imuem Mesjid
kemukiman atau nama lain, Sekretaris, Bendahara, Seksi Perwalian, Seksi
Perencanaan dan Pendataan dan Seksi Pewngawasan yang ditetapkan oleh Imuem
Mukim atau nama lain.
d) Badan Pelaksana Baitul Gampong atau nama
lain, yang terdiri atas Ketua yang karena jabatannya dilaksanakan oleh Imuem
Meunasah atau Imuem Mesjid atau nama lain, Sekretaris, Bendahara, Urusan
Perwalian, Urusan Pengumpulan dan Urusan Penyaluran yang ditetapkan oleh Geuchik atau nama lain.
J. Harta Objek Zakat
Zakat yang wajib dibayar menurut
Qanunm nomor 10 tahun 2007 adalah zakat fitrah, zakat maal, dan zakat
penghasilan. Dan jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah:
1. Emas, perak, logam mulia lainnya dan
uang;
2. Perdagangan dan perusahaan;
3. Perindustrian;
4. Pertanian, perkebunan dan perikanan;
5. Peternakan;
6. Pertambangan;
7. Pendapatan dan jasa; dan
8. rikaz, serta jenis harta lainnya yang
ditetapkan oleh fatwa MPU Aceh.
BAB IX
EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF
A.Pengertian Eksekutif dan Legislatif
1.Eksekutif
Esekutif adalah suatu pemerintahan negara yang
memiliki kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan dan perundang-undang.
Dalam sistem kabinet presidensial, presiden disamping berfungsi sebagai kepala
negara juga berfungsi sebagai kepala eksekutif.
2.Legislatif
Lembaga legislatif secara etimologi dalam kemelut
politik adalah lembaga yang memiliki kekuasaan untuk membuat/mengeluarkan
UU sedangkan Legislatif dalam terminology fiqh disebut sebagai lembaga penengah dan pemberi fatwa. Istilah
lembaga legislative dalam Islam lebih popular dengan sebutan Afl al-Halli wa
al-‘aqd. Secara harfiah Ahl al-Halli wa al-‘aqd berarti orang yang dapat
memusatkan dan mengikat.
Adapun para
ahli fiqh siyasah merumuskan istilah ini sebagai orang yang memiliki kewenangan
untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat, dengan kota lain
ahl-Halli wa al-‘aqd adalah lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan
aspirasi/suara masyarakat. Adapun dalam pemerintahan Islam, pembentukan lembaga
Ahl al-Halli wa al-‘aqd perlu mengingat banyaknya permasalahan kenegaraan yang
harus diputuskan secara bijak dan pandangan yang tajam sehingga mampu menjaga
kemaslahatan umat.
BAB X
SYARIAT DAN ADAT ACEH
A.
Pengertian
Adat Aceh
Aceh
adalah salah satu provinsi di Indonesia yang sangat menjunjung tinggi adat
istiadat dalam masyarakatnya. Hal ini terlihat dengan masih berfungsinya
institusi-institusi adat di tingkat gampong atau mukim. Meskipun Undang-undang
no 5 tahun 1975 berusaha menghilangkan fungsi mukim, keberadaan Imum Mukim di
Aceh masih tetap diakui dan berjalan. Hukum adat di Aceh tetap masih memegang peranan
dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat
Aceh terdapat institusi-institusi adat di tingkat gampong dan mukim. Institusi
ini juga merupakan lembaga pemerintahan. Jadi, setiap kejadian dalam kehidupan
bermasyarakat, Ureueng Aceh selalu menyelesaikan masalah tersebut secara adat
yang berlaku dalam masyarakatnya. Pengelolaan sumber daya alam pun di atur oleh
lembaga adat yang sudah terbentuk.
Adat
adalah kebiasaan-kebiasaan yang telah berlaku antar generasi dalam satu
masyarakat, dimana keberadaannya berfungsi sebagai pedoman dalam berfikir dan
bertindak dimasyarakat pemangku adat tersebut.
B.
Jenis
jenis adat aceh :
3
jenis adat aceh :
· Adat meukuta
alam yaitu adat yang diwarisi dari sultan-sultan terdahulu yang telah
disesuaikan menurut keadaan.
· Adat
mahkamah yaitu adat yang berbentuk
undang-undang yang dibuat oleh majelis kerajaan.
·
Adat tunah yaitu
adat yng dibuat oleh penguasa atau panglima negeri di daerah masing-masing didalam
kerajaan, yang keadaannya bergantung pada situasi dan kebiasaan dalam daerah
yang brkenaan.
C.
Adat istiadat di Aceh dalam kehidupan sehari-hari :
1. Adat perkawinan
Menurut adat aceh, upacara-upacara yang berlangsung dalam
suatu proses perkawinan terjadi atas 4
tahap yaitu: Meresek, melamar, pesta pernikahan dan antar pengantin perempuan. Dalam kaedah syariat Islam jika seseorang
ingin menikahi haruslah ada mahar bagi perempuan dan pada saat resepsi
seharusnya tidak menghadirkan lagu-lagu atau para penyanyi baik
laki-laki maupun perempuan yang dapat melalaikan si pendengar dari dzikrullah
atau dapat membangkitkan syahwat mereka. Hindari pula penggunaan alat-alat
musik didalam walimah pernikahan ini kecuali duff (rebana).
2. Adat
turun kesawah
Pelaksanaan upacara tron u blang dipimpin oleh
keujreuen blang dan dihadiri tokoh-tokoh masyarakat ditempat.
3. Adat
tron u laot.
Dilakukan
setahun sekali dalam bentuk upacara adat dengan tujuan bersyukur kepada Allah
SWT.
4. Adat
bercocok tanam
Bercocok tanam yang dimulai sejak pembukaan
lahan. Dalam hal ini, ada lembaga/instansi adat yang berwenang, yakni Panglima
Uteuen yang dibawahi beberapa struktur adat lainnya seperti Petua Seuneubôk,
Keujruen Blang, Pawang Glé, dan sebagainya.Sistem pengelolaan hutan sebagai
lahan bercocok tanam, fungsi Petua Seuneubôk tak dapat dinafikan. Seuneubôk
sendiri maknanya adalah suatu wilayah baru di luar gampông yang pada mulanya
berupa hutan. Hutan tersebut kemudian dijadikan ladang. Karena itu, pembukaan
lahan seuneubôk harus selalu memperhatikan aspek lingkungan agar tidak
menimbulkan dampak negatif bagi anggota seuneubôk dan lingkungan hidup itu
sendiri. Maka fungsi Petua Seuneubôk menjadi penting dalam menata bercocok
tanam, di samping kebutuhan terhadap Keujruen Blang.
A. Lembaga
Adat Aceh
Lembaga
Adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan Kabupaten/Kota di bidang
keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat. Tugas, wewenang,
hak dan kewajiban lembaga adat, pemberdayaan adat, dan adat istiadat diatur
dengan Qanun Aceh.
Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui Lembaga
Adat.
D.
Lembaga adat Aceh meliputi:
1.
Majelis Adat Aceh
Majelis Adat Aceh adalah majelis penyelenggara
kehidupan adat di Aceh yang struktur kelembagaannya sampai ke tingkat gampong.
2.
Imeum Mukim
Imeum mukim adalah orang yang
dipercayakan sebagai pemangku adat di kemukiman atau sering disebut juga dengan
kepala mukim. Ke-mukim-an merupakan bentuk pemerintahan yang berada di
atas gampong dan juga sebagai badan federal
dari beberapa gampong. Seorang imeum mukim bertugas mengawasi pelaksanaan adat
di tiap-tiap kemukiman, dan mempunyai kewenangan dalam menindak tegas
masyarakat yang melanggar adat di wilayah ke-mukim-an. Selain itu, dia juga
bertugas menyelesaikan sengketa tapal batas antar gampong dan masalah-masalah perselisihan yang
terjadi antar masyarakat gampong dalam ke-mukim-annya.
3.
Imeum Chik
Imeum
chik adalah imeum masjid pada tingkat ke-mukim-an. Imeum chikbertugas untuk
memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di mukim yang berkaitan dengan bidang
agama Islam dan pelaksanaan Syari'at Islam.
4.
Keuchik
Keuchik/geuchik adalah kepala
persekutuan masyarakat adat gampong. Keuchik tidak hanya memiliki otoritas
dalam bidang pemerintahan, seperti penyelenggara pemerintahan gampong, tetapi
juga bertugas untuk melestarikan adat istiadat dan hukum adat. Selain itu
Keuchik juga bertugas untuk menjaga keamanan, kerukunan, ketentraman, dan ketertiban
masyarakat. Ibrahim Alfian menganalogikan
keuchik sebagai “bapak/ayah
gampong” karena besamya tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya untuk
pengendalian dan pemeliharaan pemerintahan serta adat di tingkat gampong.
5.
Tuha Peut
Tuha peut adalah suatu lembaga
permusyawaratan di tingkat gampong. Badan ini berfungsi untuk memberikan
nasihat dan pertimbangan kepada Keuchik pada setiap pengambilan keputusan dalam
rangka menjalankan pemerintahan
gampong.Lembaga ini disebut dengan
Tuha peut karena jumlah mereka sebanyak empat orang yang terdiri dari
unsur pemerintahan, agama, tokoh adat dan cerdik pandai yang berada di gampong.
6.
Tuha Lapan
Tuha lapan adalah lembaga adat yang
terdapat pada tingkat mukim dan gampong dan bertugas sebagai penasihat imeum
mukim dan keuchik dalam menjalankan pemerintahannya dengan sebaik-baiknya.
Lembaga ini terdiri dari unsur-unsur Pemerintah, Agama, tokoh Adat, tokoh
masyarakat, cerdik pandai, pemuda, perempuan dan kelompok organisasi masyarakat
7.
Imeum Meunasah
Imeum meunasah adalah orang yang
memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di
gampong yang berkenaan dengan bidang agama Islam, pelaksanaan dan
penegakan syari'at Islam. Hubungan antara
keuchik dan imeum meunasah sangat erat. Sehingga imeum meunasah dapat
dianalogikan sebagai “ibu gampong”.
8.
Keujreun Blang
Keujruen blang adalah orang yang
membantu keuchik dan imeum mukimdi bidang pengaturan dan penggunaan air irigasi
untuk persawahan. Lembaga ini bertuugas mempertahankan Hukum Adat di bidang
pertanian. Selain bertugas mengelola lingkungan di wilayah persawahan, keujruen
blang juga bertugas untuk menindak pelanggaran hukum adat dan menyelesaikan sengketa yang timbul di wilayah
kewenangannya.
9.
Panglima Laot
Panglima laot adalah orang yang
memimpin adat istiadat atau kebiasaan yang berlaku di bidang penangkapan ikan
di laut. Selain itu lembaga ini juga bertugas mengatur tempat/areal penangkapan
ikan, penambatan perahu dan menyelesaikan sengketa bagi hasil. Kekuasaan
panglima laot hanya berlaku di wilayah laut meliputi semua aspek kehidupan di
laut. Tugas panglimat laot tidak hanya sekedar melakukan pengaturan tetapi juga
memberikan sanksi pada setiap pelanggaran adat dan sebagai hakim perdamaian ketika
terjadi persengketaan di wilayahnya bertugas.
10. Pawang Glee/Uteun
Pawang glee/uteun adalah orang yang
memimpin dan mengatur adat istiadat yang berkenaan dengan pengelolaan dan
pelestarian lingkungan hutan.
11. Petua Seuneubok
Peutua seuneubok adalah orang yang
memimpin dan mengatur ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pembukaan lahan
untuk pertanian dan perkebunan. Dalam hal ini, lazimnya pelopor yang membuka
tanah mati untuk menjadi lahan pertanian langsung diangkat sebagai peutua
seuneubok.
12.
Haria Pekan
Haria pekan adalah orang yang
mengatur ketertiban, keamanan, dan kebersihan pasar serta mengutip retribusi
pasar gampong. Keberadaan lembaga haria
pekan sangat penting karena dapat menumbuhkan pasar-pasar strategis bagi
perkembangan lalu lintas jual beli barang-barang ekonomi rakyat. Selain itu
lembaga ini dibutuhkan dalam rangka mengatur kehidupan ekonomi pasar, mengawas
penipuan yang terjadi di pasar dan menetramkan para konsumen dari segala bentuk
kejahatan di pasar.
13.
Syahbanda
Syahbanda adalah orang yang memimpin
dan mengurus tambatan perahu lalu lintas keluar dan masuk perahu di bidang
angkutan laut dan sungai. Pada masa lalu tugas syahbanda tidak hanya terbatas
pada manajemen pelabuhan, tetapi juga bertugas untuk mencegah terjadinya
pelanggaran-pelanggaran di pelabuhan.
Hubungan syariat Islam
dan Adat Aceh, dalam adat pernikahan adanya KUA (penghulu) yang mana tugas KUA
mempersiapkan kartu nikah bagi kedua membelai. Seperti yang kita ketahui dalam
syariat Islam seperti itu cara pelaksanaannya, ketika memulai ijab kabul
membelai wanita tidak diharuskan mendampingi membelai pria, tetapi setelah
dikatakan sah, maka membelai wanita datang menghampiri membelai pria. Mahkamah
Syar’iyah juga ikut berwenang dalam Adat perkawinan.
Kemudian dalam adat bercocok tanam, adanya silaturahim antara masyarakat dengan Keujruen Blang dan Petua Seuneubôk yang mengurus adat bercocok tanam. Dalam syariat Islam mengharuskan adanya silaturahin agar terciptanya umat yang berbahagia.
Adat tron u laot, upacara dengan tujuan bersyukur kepada Allah SWT. Dalam syariat Islam kita diwajibkan untuk selalu bersyukur atas apa yang telah Allah berikan kepada kita hamba-Nya. Adat turun kesawah, Hal ini seperti hanjeut teumeubang watèe padé mirah. Maksudnya adalah tidak boleh memotong kayu saat padi hendak dipanen. Kalau ini dilanggar, dipercaya akan mendatangkan hama wereng (geusong).
BAB XI
ISU-ISU DALAM PELAKSANAAN SYARI’AT ISLAM DI ACEH
1.
Syari’at Islam Dan Non Muslim Di Aceh
PLURALISME
Ø Pengertian Pluralisme
Secara etimologi pluralisme berasal dari kata “plural”
(inggris) yang berarti lebih dari satu atau banyak dan berkenaan dengan
keanekaragaman dan “ isme” yang berarti paham.Dengan demikian pluralisme
berarti paham kemajemukan Ada dua perspektif dalam
memahami pluralisme.
Ø Sikap dan Pemahaman Umat Islam Terhadap Pluralisme
Hubungan sosial antara umat manusia membuka dua pilihan
yaitu harmoni atau konflik. Harmoni terbangun ketika masing-masing berusaha
untuk saling memahami, saling toleransi dan menghilangkan berbagai prasangka
negatif terhadap orang lain. Dengan cara tersebut, akan
tercipta suatu kehidupan yang rukun, nyaman, tentram dan penuh kedamaian.
Sebaliknya, konflik terjadi ketika masing-masing pihak memegang dengan teguh
kebenaran yang diyakininya. Melihat pihak lain sebagai lawan yang harus
dikuasai dan ditundukkan. Sikap itulah yang merupakan penyebab suatu konflik
yang tidak dapat dihindari. Perbenturan kepentingan, hasrat yang menguasai dan
sikap arogan menjadi sebab lahir dan
berkembangnya sebuah konflik pluralisme.
pluralisme dinilai sebagai hal yang membahayakan aqidah.
Padahal makna pluralisme tidaklah sama dengan relativisme.
Setiap agama mempunyai dua wilayah ajaran,yaitu :
a. Wilayah agama dan Aqidah.
Di wilayah inilah tidak
boleh ada kerja sama antar pemeluk agama,karena akan menyebabakan kemurtadan.
b. Wilayah sosial.
Hampir setiap agama
mengajarkan hal yang sama. Tiap pemeluk agama diharuskan untuk dapat menghargai
antar pemeluk agama.
Ø Solusi Pluralisme
Bahwa perbedaan agama diantara mereka bukanlah penghalang
untuk menjalin sebuah kerjasama dan kedamaian dunia ini. Islam sendiri mengajarkan
bahwa kebebasan memilih agama merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati.
Adapun untuk memecahkan masalah
pluralitas agama dan keyakinan, Islam memiliki sikap dan pandangan yang jelas,
yakni mengakui identitas agama-agama selain Islam, dan membiarkan pemeluknya
tetap dalam agama dan keyakinannya. Islam tidak akan menghilanghkan identitas
agama-agama selain Islam.
2.
Syari’at Islam dan Hak Asasi
Manusi (HAM)
Ø Definisi HAM
HAM merupakan upaya untuk
mendudukkan manusia sebagaimana mestinya dengan memberikan hak- haknya tanpa
ada diskriminasi.
Kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, di antara salah satu asasnya adalah asas
kebebasan/kemerdekaan (al-Hurriyah). Kebebasan ini meliputi kebebasan
berfikir, kebebasan menyatakan pendapat,
Sikap dan Pemahaman Islam
tentang HAM
Sebenarnya ajaran Islam menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dalam melaksanakan prinsip kebebasan,karena sebuah paksaan itu menyebabkan jiwa tidak damai. Namun sisi lain,sebagian besar ulama mengkategorikan sikap mengkonversi agama tidak dilihat dari perspektif kebebasan melainkan dipandang sebagai tindak kriminal yang masuk dalam katagori tindak pidana berat sehingga sanksi hukumnya berupa hudud yaitu suatu bentuk hukuman yang pasti dan telah ditetapkan syari ̓ah. Hukuman itu tidak lain adalah hukuman mati. Penetapan hudud bagi pelaku murtad dengan hukuman mati ini berdasarkan kepada hadits Nabi,“Siapa saja yang mengganti agamanya (Islam), maka mati (bunuh) dia.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Ashhabus Sunan).” Akan tetapi, hukuman itu tidak boleh dilaksanakan jika orang murtad itu telah bertaubat.
Sebenarnya ajaran Islam menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dalam melaksanakan prinsip kebebasan,karena sebuah paksaan itu menyebabkan jiwa tidak damai. Namun sisi lain,sebagian besar ulama mengkategorikan sikap mengkonversi agama tidak dilihat dari perspektif kebebasan melainkan dipandang sebagai tindak kriminal yang masuk dalam katagori tindak pidana berat sehingga sanksi hukumnya berupa hudud yaitu suatu bentuk hukuman yang pasti dan telah ditetapkan syari ̓ah. Hukuman itu tidak lain adalah hukuman mati. Penetapan hudud bagi pelaku murtad dengan hukuman mati ini berdasarkan kepada hadits Nabi,“Siapa saja yang mengganti agamanya (Islam), maka mati (bunuh) dia.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Ashhabus Sunan).” Akan tetapi, hukuman itu tidak boleh dilaksanakan jika orang murtad itu telah bertaubat.
Ø Solusi Konversi Agama HAM.
Sebenarnya Islam mengakui kebebasan beragama, hanya saja
kebebasan beragama dalam Islam bersifat ibtidaiy (permulaan), dan tidak intiha’iy
(diakhir). Artinya, seseorang pada awalnya dibebaskan untuk memilih agama yang
ia yakini. Islam juga tidak memaksa umat agama lain untuk memeluk Islam.Allah
tidak memberikan ancaman duniawi bagi siapapun yang memeluk agama sesuai dengan
kepercayaannya,apakah dia memeluk agama Islam atau selain Islam.Begitu pula
dengan konversi agama.Hak semua orang diberikan kebebasan untuk memiliki
keyakinan masing-masing tanpa harus dipaksakan dan tanpa harus memaksa orang
lain.
3. Syari’at Islam dan Gender
FEMINISME
Ø Pengertian Feminisme.
Feminisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan
pria. Sedangkan
menurut dua orang feminis dari Asia Selatan Kamla Bashin dan Nighat Said
Khan,feminisme harus didefinisikan secara jelas agar tidak terjadi kesalah
pahaman.Mereka mendefinisikan feminisme secara lebih luas,yaitu sebagai suatu
kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat ,
ditempat kerja dan dalam keluarga serta tindakan sadar oleh perempuan atau
laki-laki untuk mengubah kedaan tersebut.
Ø Sikap dan Pemahaman Islam terhadap Feminisme
Secara umum,feminisme Islam adalah gerakan yang
berkembang dalam menjawab masalah-masalah perempuan yang aktual menyangkut
ketidakadilan dan ketidaksejajaran.Agenda feminis mainstream,semenjak
awal abad ke 20 sampai sekarang ini adalah bagaimana mewujudkan kesetaraan
gender antara pria dan wanita.
Di dalam Islam sendiri memiliki karakteristik tentang
nilai-nilai filosofis,diantaranya yaitu keadilan (al-‘adalah), persamaan
(al-musawah),dan persaudaraan (al-ukhuwwah). Dalam konteks ini
karakteristik Islam tentang perempuan dapat dilihat sebagai berikut.
Pertama,agama Islam sangat menekankan persamaan derajat. Kedua,Seluruh
ajaran Islam identik dengan kemajuan. Ajaran Islam berjalan seiring dengan
sejarah dan dalam sejumlah hal,bahkan mendahului sejarah.
Ø Solusi Feminisme
Perempuan merupakan sosok manusia yang mendapat peran
ganda dalam konteks kemerdekaan hidupnya.Ia dapat berkiprah dalam kehidupan
rumah tangga,namun ia juga dapat berkiprah di luar rumah dengan tetap
menyeimbangkan kegiatannya pada ketentuan-ketentuan syari’ah. Perempuan juga
menjadi tokoh penentu keberhasilan sebuah rumah tangga yang di dalamnya akan melahirkan
generasi penerus kehidupan mendatang.
4.
Syari’at Islam dan Penguatan Aqidah
FUNDA MENTALISME
Ø Pengertian Fundamentalisme
Kata “fundamental” adalah
kata sifat yang berarti “bersikap mendasar/pokok” diambil dari kata fundamen
yang artinya “dasar, asas ,alas, fondasi”. Jika diartikan Sebagai sebuah
gerakan keagamaan, fundamentalis dipahami sebagai penganut gerakan keagamaan
yang bersifat kolot dan reaksioner, yang memiliki doktrin untuk kembali kepada
ajaran agama yang asli seperti tersurat dalam kitab suci.
Ø Sikap dan Pemahaman Umat Islam Terhadap Fundamentalisme
Melihat perkembangan
fundamentalisme sekarang ini, maka fundamentalisme dapat di bagi menjadi 2
macam : Fundamentalisme Positif. Fundamentalisme yang sifatnya positif
diartikan sebagai suatu gerakan sosial, bukan sebagai gerakan keagamaan.
Intinya mereka ingin memurnikan ajaran Islam di tengah bahayanya ancaman dari
Barat yang ingin menghancurkan Islam.
Banyak para sarjana muslim mengakui bahwa fundamentalisme
sangat menjadi problem.Fundamentalisme menunjuk pada sikap-sikap yang
ekstrem,hitam putih, tidak toleran dan tidak kompromi. Agama dijadikan alat
untuk mengintimidasi dan menindas sekelompok orang yang bertentangan dengan
pahamnya. Padahal, agama manapun tidak mengajarkan demikian.
Ø Solusi Fundamentalisme
Fundamentalisme merupakan sebuah fenomena secara sepintas
dapat dirasakan menakutkan dan mengganggu kehidupan masyarakat.Tetapi jika
diperhatikan dengan seksama akan kelihatan bahwa sebenarnya ia hadir sebagai
sesuatu yang wajar dalam kehidupan masyarakat. Sikap memusuhinya tidak akan
menyelesaikan masalah, yang diperlukan adalah usaha memahaminya dengan baik dan
membawanya kepada dialog dan kebersamaan.
DAFTAR PUSTAKA
Majelis
permusyawaratan ulama,kumpulan Uud,Perda,Qanun dan Instruksi Gubernur Tentang
keistimewaan Nanggro Aceh Darussalam, Banda aceh, 2004, hlm. 65-78.
Nanggro
Aceh Darussalam, Qanun Nanggro Aceh Darussalam no. 9 Tahun 2003 tentang
Hubungan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama Dengan Eksekutif,
Legislatif Dan Instansi Lainnya, Bab1-5, pasal1-15.Muhammad, rusjdi ali. 2003.revitalisasi syariat Islam di
Aceh.Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Sabil jabbar, dkk.2009.syariat Islam di Aceh.Banda
Aceh:Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh.
Khairani,dkk.2009.Riset Analisis Kebijakan Publik.Banda
Aceh.
Ali, H. Zainuddin, Prof. Dr, M.A. (2009). Filsafat Hukum 3rd
ed. Jakarta: Sinar Grafika
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka
Khallaf, Abdul Wahab. (1996). Kaidah-kaidah Hukum Islam.
Jakarta: Rajawali Press
Kusumaatmadja, Mochtar & Sidharta, B. Arief. (2000).
Pengantar Ilmu Hukum: Suatu
Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum 1st
ed. Bandung: Alumni
Manan, Bagir. (1999). Pembinaan Hukum Nasional. Bandung:
Alumni
Mertokusumo, Soedikno. (1995). Mengenal Hukum: Suatu
Pengantar. Jakarta: Liberty
Muhammad, Rusdi Ali, Prof. Dr, S.H, M.A. (2004). Teori
Gradualisme: Aplikasi Penerapan
Syariat Islam di NAD. Aceh: IAIN Ar-Raniry
Muliadi, H. Ahmad, Dr (Cand.), S.H, M.H. (2010). Sinopsis
SAP S-2 Univ. Jayabaya.
Jakarta: Universitas Jayabaya
Suseno, Frans Magnis. (1994). Etika politik: prinsip-prinsip
kenegaraan modern. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Syatibi, Abu Ishaq asy. (1970). Al-Muwafakat fi Usul
Al-Ahkam. Qahirah: Muhammad Ali
Subei
Undang-undang Republik Indonesia nomor 18 tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi
Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam
Yuanda, Teuku Reiza. (2008). Penerapan Syariat Islam di
Aceh: Sebuah Review Singkat.
Abdurrahman, dkk, Al-Quran dan Isu-isu Kontemporer.
Yogyakarta:Elsaq Press, 2011.
Choir,Tolhatul, dkk, Islam dalam Berbagai Pembacaan
Kontemporer. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2009.
Lubis, Ridwan, Cetak Biru Peran Agama : Merajut Kerukunan
Kesetaraan Gender
dan Demokratisasi dalam Masyarakat Multikultural. Jakarta:
Departemen Agama
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Puslitbang
Kehidupan Beragama,
2005.
Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis. Lokalitas, Pluralisme,Terorisme.
Jakarta :
Lkis Printing Cemerlang, 2011.
Moghissi, Haideh, Feminisme dan Fundamentalisme Islam.
Jakarta : Lkis Pelangi
Aksara, 2005.
Muslikhati, Siti, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam
Timbangan Islam.
Jakarta: Gema Insani Press, 2004.
Naim, Ngainun, Pengantar Studi Islam.Yogyakarta:Teras, 2009.
Daftar pustkanya tidak ada.?
ReplyDeleteok. terimakasih atas sarannya. akan saya tulis..
ReplyDelete