BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Agama  Islam  adalah 
agama  yang  rahmatal 
lilalamin,  yang  mempunyai 
syariat  yang  harus dilaksanakan  oleh 
pemeluknya.  Ajaran  Islam 
disyariatkan karena mengandung banyak hikmah bagi manusia. 
Allah menciptakan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Di dalam
ibadah kita dapat mengambil nilai-nilai yang terkandung di dalamnya baik itu
nilai pendidikan, moral, aqidah, keimanan, dan lain-lain. Tujuan pendidikan
Islam adalah mendidik manusia untuk beribadah kepada Allah swt, membentuk
manusia bertaqwa kepada-Nya, serta mendidik manusia agar memahami nilai-nilai
yang terkandung di dalam ibadah.
Nilai dalam hal ini adalah konsep yang berupa ajaran-ajaran Islam, dimana
ajaran Islam itu sendiri merupakan seluruh ajaran Allah yang bersumber
Al-Qur’an dan Sunnah yang pemahamannya tidak terlepas dari pendapat para ahli
yang telah lebih memahami dan menggali ajaran Islam. Peran ibadah dalam
mendidik manusia agar menjadi manusia yang berakal berfikir sistematis dan
menggunakan pikirannya secara terus menerus yang merupakan salah satu faktor
yang dapat digunakan sebagai media mendidik.
a.       Apa-apa saja nilai edukasi yang terdapat pada Shalat ?
b.      Apa-apa saja nilai edukasi yang terdapat pada Puasa ?
c.       Apa-apa saja nilai edukasi yang terdapat pada Zakat ?
d.      Apa-apa saja nilai edukasi yang terdapat pada Haji ?
          Untuk mengetahui dan
memahami nilai-nilai edukasi dari ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan haji.
Dan juga untuk menambah kesadaran bagi pembaca bahwasanya ibadah adalah hal
yang penting dalam bidang pendidikan yang mempunyai makna dan tujuan yang
sangat luas.
BAB II
PEMBAHASAN
        A .    Pengertian Nilai dan
Edukasi Ibadah
Nilai adalah merupakan sesuatu yang dianggap berharga dan menjadi tujuan
yang hendak dicapai. Nilai secara praktis merupakan sesuatu yang
bermanfaat  dan berharga  dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat dua
nilai dalam Islam yaitu nilai Illahiyah dan nilai Insaniyah.
Nilai Ilahiyah merupakan nilai yang erat kaitannya dengan ketuhanan.
Sedangkan nilai insaniyah berkaitan dengan kemanusiaan. Keduanya
berhubungan dengan tingkah laku manusia.
Secara harafiah ibadah berarti bakti manusia kepada Allah swt. Karena di
dorong dan di bangkitkan oleh kaidah tauhid.[1]
Pendidikan ibadah adalah proses pendidikan yang mengajarkan kepada  seorang anak harus menjalankan rukun Islam
pada khususnya dan seluruh ajaran Islam pada umumnya. Sehingga menjadi hamba
Tuhan yang taat. 
Adapun pengertian nilai-nilai edukasi dari ibadah adalah memetik dan
memahami nilai-nilai yang terkandung di dalam ibadah sebagai pendidikan hidup,
mengajarkan kepada manusia bagaimana memahami hikmah dari ibadah tersebut.
       B.     Macam-Macam Nilai
Edukasi dari Ibadah
Adapun macam-macam nilai edukasi dari ibadah yaitu mencukup semua ibadah
pada umumnya, tetapi kami khususkan terhadap rukun Islam yang kelima, yaitu:
shalat, puasa, zakat, dan haji. Berikut ini kami jelaskan satu persatu.
  1.   Nilai-Nilai Edukasi dari Shalat
Nilai pendidikan ibadah bagi anak akan membiasakannya melaksanakan
kewajiban. Pendidikan yang diberikan luqman pada anaknya merupakan contoh baik
bagi orang tua. Luqman menyuruh anak-anaknya shalat ketika mereka masih kecil
dalam Al Qur’an Allah swt berfirman : 
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأمُور
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan mungkar dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. (QS. Luqman : 17)
Dari ayat tersebut, Luqman menanamkan nilai-nilai pendidikan ibadah kepada
anak-anaknya sejak dini. Dia bermaksud agar anak-anaknya mengenal tujuan hidup
manusia, yaitu menghambakan diri kepada Allah swt. bahwa sesungguhnya tidak ada
Tuhan yang patut disembah selain Allah swt. Apa yang dilakukan luqman kepada
anak-anaknya bisa dicontoh orang tua zaman sekarang ini.  Rasulullah saw. memberikan tauladan pada
umatnya tentang nilai pendidikan ibadah. Beliau mengajarkan anak yang berusia
tujuh tahun harus sudah dilatih shalat dan ketika berusia sepuluh tahun mulai
disiplin shalatnya sabda Nabi saw.
Rasulullah saw bersabda : “Suruhlah
anak-anak kalian berlatih shalat sejak mereka berusia 7 tahun dan pukullah
mereka jika meninggalkan shalat pada usia 10 tahun dan pisahkanlah tempat tidur
mereka (sejak usia 10 tahun)”. (HR. abu dawud). 
Nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam shalat diantaranya:
a.       Shalat diawali dengan bersuci
        Hal ini tentunya mendidik kita
agar senantiasa menjaga kesucian fitrah kita sebagai manusia dan mengingatkan
kita bahwa Allah adalah dzat yang Maha Suci yang hanya menerima hamba-Nya yang
suci untuk menghadap kepada-Nya.
b.Shalat mendidik untuk berlaku jujur
        Dalam shalat, apabila ia buang
angin yang tidak tertahankan pada saat shalat, tentunya  seseorang akan
berhenti dari shalatnya dan mengulang lagi shalat-nya, karena kita semua tahu,
buang angin pada saat shalat adalah hal yang membatalkan shalat. Berlaku jujur
pada diri sendiri. Tentunya, berlaku jujur tidak hanya pada saat shalat, tetapi
yang  perlu menjadi perhatian adalah mewujudkan perilaku jujur pada saat
setelah shalat. Berlaku jujur dalam setiap perilaku, dalam setiap keadaan, baik
dalam berbicara, dalam berdagang,  dan dalam seluruh aspek kehidupan kita.
c.    Shalat diakhiri salam ke kanan dan ke kiri
            Ucapan salam mengandung do’a.  Dan pada saat kita
mengakhiri shalat, kita mendo’akan mereka yang ada di kanan dan kiri kita.
Salah satu makna dari hal ini adalah, sebagaimana sabda rasulullah :
“Seorang muslim sejati adalah ketika manusia selamat dari lisan dan
tangannya, dan mu’min sejati, adalah ketika manusia merasa aman darinya atas
harta dan darahnya” (HR. Ahmad)
Artinya, seseorang yang
mengakhiri salam dalam shalatnya, hendaknya menegakkan do’a yang ia setelah
selesai melaksanakan shalat.  Sebagaimana sabda Rasulullah saw, maka ia
tidak akan mencelakakan orang lain dengan lisan dan tangannya.
d.   Wujud terhadap nilai
keikhlasan kepada Allah swt
Keikhlasan kepada
Allah, tidak hanya tertanam dalam qolbu seseorang, yang lebih penting lagi
adalah mewujudkannya dengan melakukan shalat. Ikhlas mengajarkan kepada kita
untuk mencapai kesuksesan hakiki,  kesuksesan yang  abadi, dan
kesuksesan  dalam pandangan Allah swt.
  2.   Nilai-Nilai Edukasi dari Puasa
Nilai-nilai edukasi puasa yang berbasis ajaran Islam yang selanjutnya
panduan hidup dan akan berimplikasi besar terhadap perbaikan moral pribadi, bangsa,
kelangsungan hidup dan kehidupan manusia.
a.  Nilai pemeliharaan jiwa Tauhid yang ada di dalam diri setiap orang
Melalui ibadah puasa pada bulan ramadhan, Allah melakukan penyadaran total
kepada setiap hamba-Nya. Dalam salah satu ayat al-Qur’an kita telah diberitahu
bahwa dalam diri kalian ada unsur fitrah,
yang dengannya kalian perlu menyadari bahwa diri kalian diciptakan oleh Allah,
berada dalam genggaman kekuasaan Allah, dan pada saatnya akan kembali jua
kepada-Nya.
Fitrah yang ada di dalam setiap individu merupakan factor dasar dan dominan
dimana seseorang yakin bahwa ada Yang Maha Menguasai alam, yaitu Allah SWT.
Unsur utama yang terkandung dalam fitrah itulah yang kita sebut iman. 
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا
فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ
ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
“Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah (itulah) agama yang lurus (QS. Ar-Rum;30).
Atas dasar iman kepada Allah, seseorang akan selalu dan terus termotivasi
untuk melakukan perubahan yang bernilai kebaikan. Kebaikan yang dimaksud adalah
semua pikiran, perbuatan yang baik menurut Allah SWT dan baik pula bagi
pelakunya.
b.      Nilai historia puasa
            Sejarah berfungsi untuk
dijadikan sebagai unsure ‘ibrah atau
pembelajaran yang amat berharga bagi setiap orang, baik sebagai individu maupun
sosial.
            Sejarah puasa yang
terungkap sebelum periode kerasulan Muhammad saw, misalnya riwayat dari ibunda
Isa as, seperti dalam al-Quran : 
فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ
مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ
الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
“sesungguhnya aku telah bernazar akan berpuasa karena
Allah Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang
manusiapun pada hari ini” (Q.S Maryam: 26).
Demikian pula riwayat Nabi Zakaria as. Zakaria di beri tanda-tanda oleh Allah
swt dengan cara tidak mampu berbicara selama tiga malam. Zakaria dalam do’anya
ia menyatakan
قَالَ رَبِّ اجْعَلْ لِي آيَةً قَالَ آيَتُكَ
أَلا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلاثَ لَيَالٍ سَوِيًّا
 “ya
Tuhanku, berilah aku suatu tanda”, Allah berfirman “Tanda bagimu ialah bahwa
kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu
sehat” (QS. Maryam:10). Boleh jadi dari kedua kasus diatas, Maryam dan Nabi
Zakaria as, di didik oleh Allah swt untuk selalu menjaga lidah agar tidak
sembarang berbicara, ngawur, mengungkapkan perkataan yang tidak berbobot atau
tidak berkualitas.
            Beda halnya dengan puasa
nabi Daud as. Puasa yang dijalani oleh beliau puasa hari ini kemudian besoknya
tidak atau puasa selang sehari. Boleh jadi setiap hari kehidupan nabi Daud as
dikehendaki Allah swt agar jangan sampai terkontaminasi atau ternoda oleh
ungkapan dan hal-hal tidak suci.
c.    Nilai ketaqwaan kepada Allah swt
        Taqwa adalah tujuan utama
puasa. Taqwa harus menjadi pakaian kita dalam menjalani kehidupan duniawi ini.
Puasa wajib ramadhan merupakan upaya Allah swt mendidik hamba-Nya untuk
memasuki fase kehidupan yang tidak bergantung kepada materi, melainkan
kepada-Nya semata.
  d.   Nilai imsak
        Yang berarti suatu fase dimana
seseorang yang mau berpuasa mulai menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal
yang membatalkan puasa. Nilai dan filosofi sangat tinggi dimana seseorang mulai
mampu menahan diri untuk tidak melakukan segala hal yang memungkinkan
mengurangi dan membatalkan berpuasa.
        Nilai imsak ini mendidik
manusia untuk melatih kesabaran untuk menahan diri selama berpuasa. Sebagaimana
firman Allah swt:
قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ
اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ  
“Sesungguhnya hanya
orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” (QS. Az-Zumar:10).
  e.    Nilai ihtisaban (intropeksi diri)
        Sabda Nabi saw: “Barangsiapa berpuasa penuh keimanan dan
intropeksi diri, maka diampuni segala dosa yang telah lalu.” (HR. Bukhari
Muslim).
        Nilai ihtisaban ini mendidik
manusia untuk adanya kemauan dan kemampuan untuk melihat dan mengetahui
kekurangan diri sendiri akan melahirkan sikap rendah hati (tawadhu’) dan jujur
(shiddiq) sekaligus menjauhi sikap yang angkuh dan khianat.
  f.    Nilai qiyam al-layl (shalat
tarawih)
        Setiap malam ramadhan umat
Islam disunnahkan untuk beramai-ramai mendatangi tempat ibadah untuk
melaksanakan shalat tarawih. Melalui shalat tarawih, manusia di didik dalam suasana
kekeluargaan, rasa persaudaraan serta rasa kesetaraan di hadapan Allah swt.
Setiap orang Islam bergegas untuk mendatangi tempat Ibadah dengan pakaian
bagus, rapi, kemudian saling menyapa satu sama lain dengan penuh senyum rasa
hormat antar sesama Muslim.
  3.   Nilai-Nilai Edukasi dari Zakat
Konsep zakat menurut Islam adalah suatu kewajiban bagi orang kaya yang
hartanya sudah waktunya untuk dizakati (sudah satu nisab), yang diberikan oleh
sikaya kepada simiskin dengan syarat-syarat yang ditentukan, sebagai bentuk
rasa syukur atas segala nikmat yang telah diberikan Allah kepada mereka. Adapun
nilai-nilai edukasi dari ibadah zakat adalah:
   a.    Nilai takwa
        Seseorang itu mensikapi akan
perintah Allah untuk mengeluarkan zakat, karena harta yang dicintai harus
dikeluarkan sebagian. Dengan dikeluarkan zakat, seseorang di didik dapat lebih
senantiasa bertakwa kepada Allah swt. 
   b.   Nilai ukhuwah
        Perasaan persaudaraan yang
benar melahirkan perasaan yang mulia didalam jiwa muslim untuk membentuk
sikap-sikap sosial yang positif, seperti tolong-menolong, mengutamakan orang
lain, kasih sayang dan pemberian maaf serta menjauhi sifat-sifat negatif.
Manusia adalah bersaudara antara satu dengan yang lain, seseorang bisa
dikatakan memahami hakekat persaudaraan apabila seseorang menyadari
kewajibannya sebagai saudara, yaitu saling menolong orang miskin membutuhkan
bantuan harta benda orang kaya, sementara orang kaya yang mempunyai rasa
spiritual keimanan akan merasa berkewajiban untuk memberikan zakat sebagai hak
bagi orang-orang miskin.
   c.    Nilai solidaritas sosial
        Bahwa dalam bermasyarakat,
manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian tetapi saling
membutuhkan, dengan jalan itu diharapkan saling membantu, sehingga ada balance
(keseimbangan) dalam masyarakat. Dalam kontek solidaritas sosial ini zakat
sebagai kunci untuk berbicara bahwasanya kalau sikaya bisa berkembang mengapa
simiskin tidak bisa berkembang, maka dengan ditanamkan nilai solidaritas
sosial, sikaya merasa senasib sepenanggungan dengan simiskin yang dalam hal ini
diimplementasikan dengan mengeluarkan zakat, karena itulah bentuk rasa
solidaritas yang harus ditunjukan oleh kaum muslim. Dengan demikian maka akan
tercipta solidaritas yang tinggi dalam masyarakat.
   d.   Nilai keadilan
        Pada dasarnya manusia adalah
sama dihadapan Allah yang membedakan hanyalah derajat ketakwaan seseorang, oleh
karena itu tidak ada perbedaan antara sikaya dan simiskin. Maksudnya adalah
bagaimana seorang paham akan kebersamaan, sehingga memberikan kesempatan bagi
simiskin untuk bisa bangkit dengan cara memberikan bantuan (zakat/modal)
sebagai modal usahanya, walaupun kenyataannya perbedaan simiskin dan kaya dalam
hal harta itu tidak bisa dihilangkan.
   4.   Nilai-Nilai Edukasi dari Haji
Ibadah haji adalah membuat keputusan untuk mengunjungi tempat yang suci.
Disebut demikian karena kaum muslimin minimal sekali seumur hidupnya sedapat
mungkin membuat keputusan untuk mengunjungi tanah suci, khususnya mekkah dan
sekitarnya guna menunaikan rukun islam yang kelima.
Dalam melaksanakan
ibadah haji, terkandung banyak nilai – nilai pendidikan didalamnya. Bila kita
melihatnya dari sisi pelaksanaan haji itu sendiri, maka kita dapat menagkap
nilai pendidikan dari istilah – istilah penting dalam haji, diantaranya:
Pertama, ibadah haji dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan
mengenakan pakaian ihram. Tak dapat disangkal bahwa pakaian menurut
kenyataannya dan juga menurut Alqur’an berfungsi sebagai pembeda antara
seseorang atau sekelompok dengan lainnya. Pembedaan tersebut dapat mengantar
kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian juga dapat
memberi pengaruh psikologis pada pemakainya. Itulah makanya, di Miqat, tempat
di mana ritual ibadah haji dimulai, perbedaan dan pembedaan tersebut harus
ditanggalkan. Semua harus memakai pakaian yang sama. Pengaruh-pengaruh
psikologis dari pakaian harus ditanggalkan, hingga semua merasa berada dalam
satu kesatuan dan persamaan. Dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih
– putih, sebagaimana yang akan yang akan membalut tubuhnya ketika ia mengakhiri
perjalanan hidup di dunia ini. Seseorang yang melaksanakan ibadah haji akan
dipengaruhi jiwanya oleh pakaian ini, ia juga seharusnya juga merasakan
kelemahan dan merasakan keterbatasannya serta pertanggung jawaban yang akan
ditunaikannya kelak di hadapan Allah Yang Maha Kuasa, yang di sisi-Nya tiada
perbedaan antara seseorang dengan yang lain, kecuali atas dasar pengabdian
kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah :
قُلْ
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ
بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
”Barang siapa mengharap
perjumpaan dengan tuhannya, maka hendaklah ia beramal shaleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannnya.” (QS. Al-Kahfi, 110).
Kedua, dengan dikenakannya pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus
diindahkan oleh pelaku ibadah haji. Misalnya, larangan menyakiti binatang,
membunuh, menumpahkan darah, dan mencabut pepohonan. Mengapa? Karena manusia
berfungsi memelihara makhluk-makhluk Tuhan dan memberinya kesempatan seluas
mungkin mencapai tujuan penciptaannya. Tidak diperbolehkan juga menggunakan
wangi-wangian, bercumbu atau kawin, dan berhias supaya setiap peserta haji
menyadari bahwa manusia bukan hanya materi semata-mata, bukan pula birahi.
Hiasan yang dinilai Tuhan adalah hiasan rohani. Dilarang pula menggunting
rambut, kuku, supaya masing-masing menyadari jati dirinya dan menghadap pada
Tuhan sebagaimana apa adanya.
Ketiga, Ka’bah yang dikunjungi mengandung pelajaran amat berharga dari segi
kemanusiaan. Di sana, misalnya, ada Hijr Ismail yang arti harfiahnya adalah
pangkuan Ismail. Di sanalah Ismail a.s. putra Ibrahim a.s., pembangun Ka’bah
ini pernah berada dalam pangkuan Ibunya yang bernama Hajar, seorang wanita
hitam yang miskin dan bahkan budak, yang konon kuburannya pun di tempat itu.
Namun demikian, budak wanita ini ditempatkan Tuhan di sana dan peninggalannya
diabadikan untuk menjadi pelajaran bahwa Allah SWT memberi kedudukan untuk
seseorang bukan karena keturunan atau status sosialnya, tapi karena
kedekatannya kepadaNya dan usahanya untuk berhijrah dari kejahatan menuju
kebaikan, dari keterbelakangan menuju peradaban. 
Keempat, setelah selesai melakukan tawaf yang menjadikan pelakunya larut dan
berbaur bersama manusia-manusia lain, serta memberi kesan kebersamaan menuju
satu tujuan yang sama yakni berada dalam lingkungan Allah SWT, dilakukanlah
sa’i. Di sini muncul lagi Hajar, wanita bersahaja yang diperistri Nabi Ibrahim
a.s. itu, diperagakan pengalamannya mencari air untuk putranya. Keyakinan
wanita ini akan kebesaran dan kemahakuasaan Allah sedemikian kokoh. Terbukti,
jauh sebelum peristiwa pencaharian ini, ketika ia bersedia ditinggal (Ibrahim)
bersama anaknya di suatu lembah yang tandus, keyakinannya yang begitu dalam tak
menjadikannya sama sekali berpangku tangan menunggu turunnya hujan dari langit,
tapi ia berusaha dan berusaha berkali-kali mondar-mandir demi mencari air.
Hajar memulai usahanya dari bukit Shafa yang arti harfiahnya adalah “kesucian
dan ketegaran” - sebagai lambang bahwa mencapai kehidupan harus dengan usaha
yang dimulai dengan kesucian dan ketegaran - dan berakhir di Marwa yang berarti
“ideal manusia, sikap menghargai, bermurah hati dan memaafkan orang lain.”
Kalau tawaf
menggambarkan larut dan meleburnya manusia dalam hadirat Ilahi, atau dalam
istilah kaum sufi al-fana’ fi-Allah, maka sai’ menggambarkan usaha
manusia mencari hidup. Thawaf dan sa’i melambangkan bahwa kehidupan dunia dan
akhirat merupakan sutu kesatuan dan keterpaduan. Dengan tawaf, disadarilah
tujuan hidup manusia. Sedangkan ditunaikannya sa’i menggambarkan tugas manusia
sebagai “upaya semaksimal mungkin.” Hasil usaha pasti akan diperoleh baik
melalui usahanya maupun melalui anugerah Allah, seperti yang dialami Hajar
bersama putranya Ismail dengan ditemukannya air Zam Zam itu. Sebagaimana Allah
berfirman :
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ
الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي
الأرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
”Dan carilah apa
yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan
janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi” ((QS Al-
Qashash : 77).
Kelima, wukuf di Arafah. Di padang yang luas lagi gersang itu seluruh jamaah wuquf
(berhenti) sampai terbenamnya matahari. Di sanalah manusia seharusnya menemukan
makrifat pengetahuan sejati tentang jati dirinya, akhir perjalanan hidupnya. Di
sana pula ia mesti menyadari langkah-langkahnya selama ini, sebagaimana ia
menyadari pula betapa besar dan agung Tuhan yang kepadaNya bersimpuh seluruh
makhluk, sebagaimana diperagakan dalam ritual thawaf di padang tersebut.
Kesadaran-kesadaran
itulah yang mengantarkannya di padang Arafah untuk menjadi ‘arif atau sadar dan
mengetahui. Ia tak akan mengintip-ngintip kelemahan atau mencari-cari kesalahan
orang, ia tidak akan cepat tersinggung walau melihat yang mungkar sekalipun karena
jiwanya selalu diliputi rahmat dan kasih sayang.
Keenam, dari Arafah para jamaah ke Mudzdalifah mengumpulkan senjata menghadapi
musuh utama yaitu setan. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Mina dan di sanalah
para Jamaah haji secara simbolis melampiaskan kebencian dan kemarahan mereka
masing-masing terhadap musuh yang selama ini menjadi penyebab segala kegetiran
yang dialaminya. 
Salah satu bukti nilai-nilai
pendidikan bagi manusia adalah isi khutbah Nabi Muhammad SAW pada haji wada’
(haji perpisahan) yang intinya menekankan: persamaan; keharusan memelihara
jiwa, harta dan kehormatan orang lain; dan larangan melakukan penindasan atau
pemerasan terhadap kaum lemah baik di bidang ekonomi maupun fisik.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
      Nilai adalah merupakan sesuatu yang dianggap berharga dan menjadi tujuan
yang hendak dicapai. Nilai secara praktis merupakan sesuatu yang
bermanfaat  dan berharga  dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan ibadah adalah proses
pendidikan yang mengajarkan kepada 
seorang anak harus menjalankan rukun Islam pada khususnya dan seluruh
ajaran Islam pada umumnya. Sehingga menjadi hamba Tuhan yang taat. 
Nilai-nilai yang terkandung di dalam shalat adalah: shalat diawali dengan
bersuci, shalat mendidik untuk berlaku jujur, shalat diakhiri salam ke kanan
dan ke kiri, wujud terhadap nilai keikhlasan kepada Allah swt. Nilai-nilai
edukasi ibadah puasa diantaranya: nilai pemeliharaan jiwa Tauhid yang ada di dalam
diri setiap orang, nilai historia puasa, nilai ketaqwaan kepada Allah swt,
nilai imsak, nilai ihtisaban
(intropeksi diri), nilai qiyam al-layl
(shalat tarawih). Nilai-nilai edukasi zakat adalah: nilai takwa, nilai ukhuwah,
nilai solidaritas sosial, dan nilai keadilan. Nilai-nilai pendidikan dalam
ibadah haji adalah:  ketika niat ihram
dan mengenakan pakaian ihram, melaksanakan tawaf, sa’i, wukuf, dan melempar
jumroh.
     B.  Kritik dan Saran
Kebenaran
dan kesempurnaan hanyalah milik Allah, kami sangat mengharapkan kritik maupun
saran dari makalah ini tujuannya hanyalah untuk menjadi yang lebih baik dari
makala-makalah sebelumnya. Dan semoga makalah yang telah kami susun bermanfaat
bagi kita semua,  Amien. 
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam, Jakarta:
Pustaka Amami, 1999.
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999.
Abu Ahmadi, Noor
Salimi, Dasar-Dasar Pendidikan Agama
Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 
1994.
Mahmud, Tedi Priatna, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung:
Sahifa, 2005.
luluvikar.files.wordpress.com/2011/05/skripsi-tuti.pdf.
adjhis.wordpress.com/2011/06/menggapai-nilai-edukasi-ibadah-ramadhan.

Comments
Post a Comment